REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah memiliki stok beras yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Indonesia pun dipastikan tidak melakukan impor beras tahun ini.
Menteri BUMN Dahlan Iskan menyatakan, Perum Bulog sebagai pihak yang ditugasi menjaga stok beras sukses menyerap beras dari petani dalam jumlah yang berlimpah. Kendati demikian, kesuksesan pengadaan beras Bulog diikuti masalah lain. Kini, gudang Bulog disesaki beras yang sangat berlebih. Akibatnya, sebagian beras menurun kualitasnya.
“Tapi, ini masalah yang lebih gampang diatasi dibandingkan kurang beras,” kata Dahlan dalam Forum Group Discussion di Jakarta, Rabu (11/12).
Menurut Dahlan, salah satu cara yang hendak dicoba untuk mengatasi penurunan kualitas beras adalah dengan menyimpan gabah. Cara ini akan menunda penurunan kualitas beras. Meskipun demikian, petani lebih suka menjual beras karena bisa mendapatkan dedak untuk bahan pakan ternak ayam. Selain itu, menjual beras juga lebih praktis dan harganya lebih mahal daripada gabah.
Direktur Utama Perum Bulog Sutaro Alimoeso mengatakan, hingga kemarin, beras di gudang Bulog mencapai 2,133 juta ton. Bulog membeli beras petani dengan harga Rp 8.200 hingga Rp 8.300 per kilogram. “Saya kira sudah waktunya HPP (harga pembelian pokok) beras dan kedelai diperbincangkan lagi karena semua harga memang sudah naik,” katanya.
Saat ini, total jumlah beras yang telah dibeli Bulog mencapai 3,453 juta ton dengan anggaran sekitar Rp 20 triliun. Apabila kondisi normal, stok beras di Bulog cukup untuk kebutuhan delapan bulan ke depan.
Menurut Sutarto, kalau jumlah produksi beras dapat dipertahankan pada tahun-tahun mendatang, Indonesia bisa bersiap untuk ekspor beras. Namun, saat ini pemerintah harus fokus mencapai surplus beras 10 juta ton pada akhir 2014.
Dalam mekanisme impor, Sutarto menerangkan, ada tiga indikator yang harus diperhatikan, yaitu produksi dalam negeri, perkembangan harga, dan stok pemerintah. Ketiga hal itu dikatakan selalu terkait. Misalnya, produksi turun, harga pasti naik. Setelah itu, biasanya diikuti dengan stok Bulog yang juga turun.
Sutarto melihat ada beberapa tantangan terkait harga pangan tahun depan. Pertama, terjadi peningkatan kebutuhan pangan, sementara lahan pangan masih terbatas. Lalu, dalam perdagangan internasional, saat ini harga beras Indonesia masih mahal sedangkan kualitasnya lebih rendah. “Harga rata-rata beras dunia di bawah 400 dolar dengan kualitas lebih baik,” katanya.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Hasanuddin Ibrahim mengatakan, seharusnya harga beras Indonesia tidak dibandingkan dengan harga beras di pasar internasional. “Itu kan harga semu, harga yang sudah disubsidi,” katanya.
Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice (IGJ) Riza Damanik mengatakan, pencapaian swasembada beras bisa terancam kesepakatan Paket Bali dalam forum Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang baru saja selesai pekan lalu.
Menurut Damanik, Paket Bali merupakan berita buruk, khususnya bagi kaum petani di perdesaan. Namun, di sisi lain, hasil tersebut memberikan peluang besar bagi korporasi dan perusahan. “Kalau berdiri pada kepentingan rakyat, keputusan Paket Bali itu buruk bagi pembangunan ekonomi ke depan. Tapi, kalau Presiden dan Menteri Perdagangan memang pendukung perusahaan multinasional, hasilnya memang menguntungkan,” katanya. n meiliani fauziah ed: eh ismail
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.