REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) meminta perbankan untuk meningkatkan cadangan permodalannya. Tambahan modal ini salah satunya diperlukan untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan dan mengancam sistem perbankan nasional.
Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs mengatakan, penambahan modal ini tercantum dalam revisi Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Peraturan akan diterapkan pada 1 Januari 2014. Perubahan aturan ini bertujuan untuk memperkuat aspek permodalan bank dari sisi kualitas maupun kuantitas yang disesuaikan dengan standar internasional yang berlaku, yaitu Basel III.
Terdapat tiga pokok utama perubahan aturan modal minimum bank umum dalam aturan tersebut. Hal pertama adalah komponen modal bank, terdiri atas komponen modal inti (tier 1) dan komponen pelengkap (tier 2). Komponen modal inti terbagi dua, yakni modal inti utama (common equity tier 1) dan modal inti tambahan (additional tier 1).
Hal kedua adalah bank wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar enam persen dari Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Sebelumnya, modal inti terendah adalah lima persen. Untuk modal inti utama (Common Equity Tier 1), paling rendah ditetapkan sebesar 4,5 persen dari ATMR, baik secara individual maupun konsolidasi dengan perusahaan anak.
Ketiga, peraturan tersebut mewajibkan bank yang tergolong Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 untuk membentuk capital conservation buffer, yaitu tambahan modal sebesar 2,5 persen dari ATMR. Ini berfungsi sebagai penyangga apabila terjadi kerugian pada periode krisis. Pemberlakuannya bertahap, mulai dari 2016 minimal sebesar 0,625 persen. Pada 2017 sebesar 1,25 persen dan 2018 sebesar 1,875 persen. Pada 2019, tambahan modal harus mencapai 2,5 persen.
"Bank juga diwajibkan untuk membentuk countercyclical buffer. Ini adalah tambahan modal yang persentasenya ditetapkan otoritas dalam kisaran sebesar nol persen sampai dengan 2,5 persen dari ATMR," ujar Peter. Tambahan modal ini digunakan untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan dan berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Bank yang tergolong Domestic Systemically Important Bank (D-SIB) wajib membentuk capital surcharge. Ini adalah tambahan modal yang persentasenya ditetapkan otoritas dalam kisaran sebesar satu persen sampai dengan 2,5 persen dari ATMR, berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan pada D-SIB. Conservation buffer, countercyclical buffer, dan capital surcharge D-SIB diterapkan bertahap hingga 2016.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nelson Tampubolon mengatakan, likuiditas bank secara umum masih aman. Walaupun pertumbuhan kredit kencang dan arus keluar modal asing (capital outflow) tinggi, kondisi perbankan dinilai belum mengkhawatirkan.
OJK telah melakukan sejumlah pengujian terhadap industri perbankan nasional dan sejauh ini kondisinya belum ada masalah. Memburuknya pasar uang dalam negeri dan situasi ekonomi di kawasan Asia dalam beberapa bulan terakhir belum berdampak signifikan terhadap kinerja perbankan.
Banyaknya likuiditas terlihat dari jumlah operasi moneter dan Giro Wajib Minimum (GWM) sekunder. Jumlah operasi moneter mencapai Rp 235 triliun, sedangkan GWM dalam bentuk surat berharga negara mencapai Rp 250 triliun.
Untuk meningkatkan manajemen likuiditas bank, BI mengeluarkan sejumlah kebijakan baru. BI menaikkan GWM sekunder dari 2,5 persen menjadi empat persen agar BI dapat menyerap kelebihan (ekses) likuiditas perbankan. Selain itu, batas atas rasio simpanan terhadap pinjaman (LDR) pun diturunkan dari 78-100 persen menjadi 78-92 persen. n satya festiani ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.