REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU) mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak keras adanya monopoli sertifikasi produk halal, baik oleh Lembaga Pengkajian dan Pengawasan Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) maupun Kementerian Agama (Kemenag).
"PBNU dengan jamaahnya yang berjumlah puluhan juta menolak keras sistem monopoli pelayanan publik seperti ini. Hari gini masak monopoli?" ujar Ketua Umum Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU) Maksum Machfoedz, Senin (20/1).
Menurut guru besar Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu, pasar saja dilarang monopoli sampai dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pelayanan publik, kata dia, tidak boleh dimonopoli.
Kemenag, menurut Maksum, juga sangat tidak pantas memonopoli sertifikasi produk halal. Sebab, ia adalah lembaga pengatur, bukan pelaksana. “Pantasnya, Kemenag atau negara itu mengatur, bukan pelaksana. Kalau dirangkap, moral hazard-nya semakin marak,” ujarnya.
Ia pun menjelaskan, fungsi negara itu hanya tiga, yaitu pengawasan, regulasi, dan pengadaan public good (kebutuhan publik). Jika fungsi pelayanan bisa dilakukan oleh partisipasi publik, seperti PBNU, misalnya, negara (Kemenag) tinggal menjalankan fungsi regulasi dan pengawasan.
Maksum mengeluarkan pernyataan cukup pedas ini terkait molornya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH) di DPR. Pembahasan yang berlarut ini ditengarai karena adanya tarik ulur kepentingan ekonomi antarpemangku kebijakan. Khususnya, antara LPPOM MUI dengan Kemenag. “Jika sinyalemen publik itu benar maka hal itu merupakan kemunduran yang bukan main. Sungguh memalukan,” kata dia.
Bagi PBNU, Maksum menegaskan, sertifikasi bukanlah kesempatan untuk mencari keuntungan ekonomi. Apalagi, sampai korupsi dan melakukan teror. Sertifikasi adalah pelayanan publik karena PBNU punya jamaah yang harus dilayani sesuai dengan keyakinannya. n c57 ed: chairul akhmad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.