REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Minuman keras, baik buatan pabrik maupun oplosan semakin banyak beredar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Bahkan, kata Ketua Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) Chapter Yogyakarta Wikan Widyastari, konsumennya kebanyakan pelajar dan mahasiswa.
Wikan mengungkapkan hal itu setelah bertemu Wakil Gubernur DIY Paku Alam IX di Kepatihan Yogyakarta, Senin (20/1). Pemerintah Provinsi DIY diharapkan bersikap tegas.
Ia mengaku, belum mendapatkan data yang pasti mengenai peredaran minuman keras tersebut. Tapi, dari hasil investigasi ke beberapa supermarket maupun minimarket, penjualan miras semakin banyak dan cepat habis. Wikan mengatakan, sebuah minimarket di Kota Geda tak lagi menjual minuman keras.
Namun, di minimarket dan supermaket Yogyakarta justru lebih banyak menjual minuman memabukkan itu. Ia berencana bertemu dengan pengelola minimarket dan supermarket. Ini bertujuan untuk mengetahui banyaknya minuman keras yang mereka jual.
Secara nasional, kata dia, sudah ada datanya. Data tersebut dari PT Delta Djakarta Tbk yang menyebutkan, pada 2013 Indonesia menyerap 230 juta liter minuman keras. Ia menambahkan, jumlah minuman yang banyak dijual di minimarket dan supermarket di DIY adalah bir.
Wikan mengakui, sejauh ini memang bir berkadar alkohol di bawah lima persen boleh beredar. Ia menuturkan, saat malam Tahun Baru 2014 di lemari pendingin salah satu supermarket di Jalan Parangtitis berisi penuh bir.
Keesokan harinya, bir yang mencapai puluhan dus itu sudah habis. Karena itu, GeNAM mendesak Pemerintah DIY membuat peraturan daerah (perda) soal ini secara tegas. Termasuk, minuman keras oplosan. “Kami ingin peredarannya dipersempit.”
Menurut dia, dalam perda selama ini belum dicantumkan regulasi tentang minuman keras oplosan. Minuman keras yang legal, apabila dikonsumsi terus-menerus akan bahaya. Tapi, efeknya baru terasa beberapa tahun kemudian. Berbeda halnya dengan miras oplosan.
Di Yogyakarta, minuman keras oplosan yang dikenal dengan ciu justru berasal dari luar Yogyakarta, seperti Wonogiri, Klaten. Ciu ini sering kali dicampur dengan minuman bersoda, suplemen, autan, bahkan katanya ada yang mencampurnya dengan telek lencung atau kotoran ayam.
Minuman keras oplosan ini beredarnya di pinggiran kota dan penggunanya merupakan usia produktif, sekitar 17-30 tahun. Korbannya sudah sangat banyak.
Di bagian lain, Isnan Hidayat dan Riset and Development GeNAM Chapter Yogyakarta mengatakan, para konsumen miras oplosan belum tersentuh informasi bahaya minuman itu. “Justru, saat meminum bersama-sama mereka menggunakannya sebagai uji nyali.”
Sekretaris Umum Majelis Ulama DIY Ahmad Muhsin Kamaludingrat mengatakan, pergaulan yang liberal menjadi pemicu maraknya minuman keras. Apalagi, pengonsumsinya kebanyakan pelajar dan mahasiswa.
Mereka merasa diakui keberadaannya ketika mengonsumsi minuman tersebut. “Kondisi ini memprihatinkan. Karena, banyak anak muda yang terjerumus ke sana,” kata Ahmad. Mereka merasa ketinggalan zaman kalau tak ikut minum minuman keras.
Sebenarnya, kata Ahmad, sudah ada instruksi gubernur pada 2000 mengenai larangan minuman keras dan judi. MUI pun ikut menyosialisasikan instruksi gubernur ini. Menurut dia, pengurus bersama ormas Islam dan agama lainnya ikut menyosialisasikannya.
Tak hanya di tingkat provinsi, sosialisasi ini dilakukan hingga kelurahan atau desa. Jadi, kata Ahmad, sebenarnya secara hukum sudah tegas ada upaya mengadang keberadan minuman keras ini. n neni ridarineni ed: ferry kisihandi
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.