Selasa 04 Feb 2014 13:12 WIB
Yusril mengajukan bukti bahwa KPU menyatakan siap melaksanakan apa pun putusan MK.

Parpol Pertanyakan Legitimasi Pemilu 2014

Parpol/ilustrasi
Foto: antara
Parpol/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai politik peserta pemilu mulai mempertanyakan legitimasi hukum Pemilu 2014. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dasar hukum dan landasan Pemilu 2014.

“Jangan sampai, nantinya di kemudian hari legitimasi Pemilu 2014 dipertanyakan,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon, Senin (3/2).

Fadli menjelaskan, legitimasi Pemilu 2014 dipertanyakan sebagai akibat dari keputusannya dalam uji materiil Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. MK mengabulkan uji materiil tersebut dan menganggap pemilu terpisah bertentangan dengan UUD 1945 meskipun MK memutuskan pemilu serentak baru akan dilaksanakan pada 2019.

Namun, kata dia, hal ini berimplikasi pada Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang (UU) No 42/2008 tentang Pilpres yang mengatur Pemilu 2014 yang terpisah tersebut juga dapat dinilai melanggar konstitusi. Karena itu, menurut Fadli, KPU sebagai penyelenggara pemilu seharusnya aktif mempertanyakan kepada MK Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang (UU) No 42/2008 tentang Pilpres apakah masih dapat digunakan sebagai dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2014.

Ia mengatakan, hal ini sangat penting untuk menghindari perdebatan konstitusional dan juga untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya permasalahan politik dan hukum.

Ahli Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra meminta MK memutuskan pemilu serentak dilaksanakan pada 2014 dan tidak harus menunggu 2019. "Putusan MK mempunyai kekuatan hukum mengikat seketika diucapkan dalam sidang terbuka, pemohon termasuk perancang UU MK dan memahami teks UUD 45, kami menyatakan putusan itu (pemilu serentak 2019) tidak lazim," kata Yusril saat sidang perbaikan permohonan uji materiil UU Pilpres di MK Jakarta.

Yusril menganalogikan, satu perkara pidana seorang bupati yang diadili di Pengadilan Pidana Korupsi (Tipikor) dan diputuskan bersalah, kemudian dijatuhi pidana lima tahun, tapi baru dijalani pada 2019. "Putusan MK (yang menyatakan pemilu serentak 2019) sulit untuk saya pahami," kata calon presiden dari Partai Bulan Bintang (PBB) ini.

Menurut Yusril, alasan MK bahwa KPU belum siap melaksanakan pemilu serentak pada 2014 sulit diterima. "Kami menemukan bukti bahwa KPU menyatakan siap melaksanakan apa pun putusan MK. MK bukan KPU, MK menguji UU dan bagaimana MK mengatakan KPU belum siap," kata Yusril.

Dia juga menyayangkan sikap MK yang tidak memanggil KPU sebelum memutuskan perkara pemilu serentak tersebut. "MK kan bisa panggil KPU dan bertanya bisa dijalankan 2014. Itu kan fair. Karena itu, kami ungkapkan di sini," kata Yusril, saat membacakan perbaikan permohonannya.

Yusril juga mengatakan bahwa permohonan dirinya dengan permohonan Effendi Gazali yang sama-sama meminta pemilu serentak tidak nebis in ide (pokok permohonan sama). Namun, permohonan Effendi Gazali yang sudah diputus pada 23 Januari 2014 tidak pernah spesifik menguji presidential yang diatur dalam Pasal 7C UUD 1945.

Dia menambahkan, akan mendatangkan ahli bahasa dalam sidang pleno pengujian UU Pilpres di MK.

"Ahli bahasa menerangkan parpol yang boleh mencalonkan mana saja? Dibilang peserta pemilu, apa maksudnya peserta pemilu? Nanti ahli bahasa yang jawab," kata Yusril. n antara ed: muhammad fakhruddin

Informasi dan berita lainnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement