REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan pembayaran uang pengganti kasus korupsi, uang tilang, dan uang denda perkara dibayarkan langsung oleh terpidana. Sistem pembayaran langsung ke kas negara akan menekan godaan terhadap aparatur hukum yang bertugas di lingkaran endapan uang perkara tersebut.
“Bayangkan saja, misalnya, seseorang harus membayar Rp 10 miliar, sebelum masuk ke kas negara, uangnya harus lewat dulu ke kejaksaan, tentu menjadi riskan,” ujar anggota BPK Hasan Bisri kepada Republika, Selasa (18/2).
Hasan melanjutkan, kerentanan tersebut akan berdampak pada tidak masuknya uang pengganti korupsi ke kas negara. Penyimpangan bisa mudah dilakukan karena pengawasan pada endapan uang perkara hanya ada di kejaksaan.
BPK sebagai otoritas yang dapat melakukan pemeriksaan, kata Hasan, hanya bisa bergerak saat ada situasi mendesak. Misalnya, menunggu permintaan dari Kejakgung. Langkah menunggu terpaksa diambil karena kejaksaan merupakan lembaga yang sangat besar dan perlu waktu serta tenaga yang banyak pula untuk mengaudit uang kasus.“Kami sudah banyak menyarankan kepada Kejakgung agar punya manajemen uang yang baik, sehingga uang endapan itu tidak lari ke mana-mana,” kata dia.
Hasan enggan mengungkapkan nominal potensi kerugian negara dari sektor pengembalian uang kasus. Menurut dia, hal yang penting saat ini adalah membangun sistem pengawasan uang endapan di kejaksaan. Salah satu caranya bisa dilakukan dengan memberi wewenang BPK masuk untuk mengaudit langsung.
Selama ini, kata dia, BPK memang pernah punya masalah manakala melakukan audit ke institusi kejaksaan. Para jaksa menyambut baik kegiatan audit BPK. Akan tetapi, tetap saja tidak mungkin semua kejaksaan diperiksa. “Bisa saja semuanya, namun waktunya akan sangat lama,” kata dia.
Indonesian Corruption Watch (ICW) yang pernah sengaja melakukan riset mengenai potensi penggelapan pada uang pengganti korupsi menyebutkan, uang pengganti yang masih menjadi piutang hingga tahun 2012 mencapai Rp 12,7 triliun dan 290 juta dolar AS. Padahal, setiap tahun, Kejakgung selalu mengklaim melakukan pengembalian uang negara.
Anggota Komisi III DPR Almuzzammil Yusuf menyatakan, Komisi III DPR memberikan perhatian khusus terhadap kasus penggelapan uang pengganti perkara korupsi dan uang tilang di Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandar Lampung.
Almuzzammil menegaskan, setiap tindak pidana, terutama korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum, baik itu jaksa atau polisi, ada pemberatan hukum. “Itu (kasus korupsi) tidak masuk etik, tapi pidana. Itu harus diproses. Jika terbukti, harus ada pemberatan (hukuman),” katanya.
Apalagi, Almuzzammil melanjutkan, Jaksa Agung Basrief Arief telah mempunyai program pemberian promosi kepada para jaksa yang berprestasi. Dengan demikian, seharusnya berlaku pula pemberian hukuman yang lebih berat terhadap jaksa yang melakukan hal sebaliknya.
Koordinator Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi pesimistis kasus korupsi di Kejari Bandar Lampung bisa terbongkar sampai ke akar-akarnya. Penyebabnya, kata Uchok, tak lain semangat solidaritas di internal kejaksaan yang masih sangat tinggi.
Menurut uchok, pengusutan dugaan korupsi di Kejari Bandar Lampung hanya sebatas pencitraan untuk menenangkan kecurigaan publik terhadap Korps Adhyaksa tersebut. “Seolah mau memperbaiki, padahal itu untuk menutupi. Supaya publik puas saja,” kata Uchok.
Selama ini, kejaksaan menjadi lembaga yang tidak transparan dalam mengelola pendapatan negara bukan pajak. Sehingga, patut diduga banyak kerugian negara yang disebabkan penyimpangan oleh oknum kejaksaan. “Kejaksaan memang belum terbuka dan transparan,” ujarnya.n gilang akbar prambadi/
djibril muhammad/m akbar wijaya ed: eh ismail
Informasi dan berita lainnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.