Senin 24 Mar 2014 12:00 WIB

Investor Asia Didorong Simpan Dana di Asia

Petugas melayani calon investor di Galeri Panin Asset Management di lantai dasar BEI, Jakarta
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Petugas melayani calon investor di Galeri Panin Asset Management di lantai dasar BEI, Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Investor Asia diminta untuk menginvestasikan dana di Asia. Bank Pembangunan Asia (ADB) melihat tingginya kecenderungan investor Asia untuk menanamkan dananya di AS.

“Asia banyak likuiditas. Celakanya dana tersebut banyak yang diinvestasikan di US Treasury,” ujar Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional Bank Pembangunan Asia (ADB) Iwan Jaya Azis baru-baru ini. Oleh sektor swasta di AS, uang tersebut kembali diinvestasikan di Asia. Hal ini membuat biaya transaksi menjadi sangat tinggi.

Iwan mengatakan, pemerintah harus menciptakan lingkungan investasi yang baik agar dapat menarik investor Asia untuk menyimpan dananya di wilayahnya sendiri. Kendala yang investor hadapi selama ini, yaitu standarisasi.

Iwan mengatakan, ADB membuat standardisasi di kalangan negara Asia, salah satunya Asia Bond Market Initiative (ABMI) di negara ASEAN+3. Inisiatif tersebut bertujuan untuk mendorong 13 negara berinvestasi satu sama lain. “Harapannya antarinvestasi di negara Asia makin tinggi,” ujarnya.

Lagi pula, menurutnya, ini merupakan langkah antisipasi untuk mengurangi dampak dari kebijakan Bank Sentral AS. The Fed telah mengurangi stimulus moneternya menjadi 55 miliar dolar AS per bulan. Gubernur the Fed Janet Yellen juga mengisyaratkan akan menaikkan suku bunga pada enam bulan usai stimulus moneter selesai.

Hal tersebut ditakutkan dapat memicu perang suku bunga di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sehingga, jika tidak segera diantisipasi, akan memicu larinya dana dari negara berkembang ke AS.

Menteri Keuangan M Chatib Basri mengatakan, pemerintah siap melakukan antisipasi atas rencana AS tersebut. “Kita siap bahkan sejak awal telah mengantisipasi itu, memang ada gejolak di pasar keuangan karena banyak negara berkembang yang harus melakukan penyesuaian dalam kebijakan moneternya,” katanya.

Chatib mengatakan, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah melakukan antisipasi berupa pengetatan kebijakan fiskal serta moneter sejak pertengahan tahun 2013. Langkah itu yang menyebabkan fundamental ekonomi nasional dalam keadaan baik dan relatif solid dari berbagai tekanan eksternal.

“BI telah menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate sejak awal hingga 175 basis poin dan fiskalnya telah diketatkan sehingga dampaknya dapat lebih minimal,” ujarnya. Chatib juga berkaca dari pengalaman investor yang biasanya mampu beradaptasi dengan perkembangan perekonomian global. Pelaku pasar diperkirakan telah siap dalam menghadapi kebijakan The Fed terkait suku bunga.

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito pun menyatakan, adanya kepastian dari the Fed untuk menaikkan suku bunganya akan membuat pasar lebih cepat merespons untuk menghitung dampaknya bagi pasar keuangan. “Itu lebih pasti, berbeda ketika pengurangan stimulus moneter atau tapering off the Fed pada 2013 lalu masih menjadi isu,” katanya.

Head of Research Valbury Securities Alfiansyah menambahkan, The Fed tetap menunggu waktu yang tepat untuk menaikkan suku bunganya setelah menyelesaikan program tapering off. Saat ini, suku bunga the Fed di kisaran nol persen, dan diperkirakan naik menjadi satu persen pada 2015. Kemudian, akan meningkat menjadi 2,5 persen pada akhir 2016. n satya festiani/antara ed: fitria andayani

Informasi dan berita lain selengkapnya sila dibaca di Republika, terimakasih.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement