Kamis 17 Jul 2014 13:00 WIB

Gugus Tugas Polri

Red:

Sepanjang Kamis dan Jumat (4-5 Juli) dua pekan lalu, harian Republika menurunkan berita tentang jilbab bagi Polisi Wanita (Polwan), sebuah isu keagamaan yang menyangkut institusi penegak hukum ini. Isu jilbab--yang tampil ke publik melalui pernyataan Jenderal Polisi Sutarman beberapa hari setelah dikukuhkan sebagai kepala Kepolisian Republik Indonesia (kapolri)--ini kembali hangat bersamaan dengan dua kejadian: Hari Bayangkara Polri 1 Juli dan keputusan DPR menetapkan anggaran belanja untuk penutup kepala Polwan itu. Berita Republika ini jelas merupakan "desakan" bersifat keagamaan agar Polri tak lagi ragu "memerintahkan" Polwan Muslimat menggunakan jilbab.

Yang menarik, "desakan" berbeda disampaikan Jennie M Xue dan Micheal J Rahardjo tentang keharusan Polri menjaga stabilitas pluralisme masyarakat Indonesia berdasarkan "sekularisme". Dalam "What the Year of the Horse Means?" (The Jakarta Post, 2/2), mereka berkata " ... bagaimanapun juga, Indonesia adalah negeri sekuler berdasarkan Pancasila. Juga, dalam Islam Suni, fatwa seperti yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengikat, melainkan hanya merupakan pendapat para ahli. Dan telah menjadi kewajiban polisi dan tentara menjaga  perdamaian."

Pertanyaannya: Di mana Polri harus berada? dan dapatkah Polri menjadi "pusat pengetahuan sosial-budaya"?

Tekanan pertanyaan pertama terletak pada fragmentarisme pandangan antaragama dan, bahkan, di dalam satu agama, yang kerap berujung bukan saja pada faksionalisme, melainkan "kekerasan" terhadap yang lain. M Xue dan Rahardjo di atas meletakkan "harapan besar" kepada polisi dan tentara dalam hal ini.

Melalui UU No 2/2002, tanggung jawab polisi terfokus pada keamanan dalam negeri. Maka, secara sosiologis, polisi lebih berada di tengah dinamika masyarakat. Pada saat yang sama, melalui UU itu pula posisi dan tempat Polri diperjelas:  alat negara. Dan karena Indonesia bukanlah negara agama, Polri berkewajiban tegak di atas segala agama.

Dari pertanyaan kedua diperoleh bahwa setiap anggota polisi memeluk agama masing-masing. Karena Islam adalah agama mayoritas, secara praktis sebagian besar anggota polisi adalah Muslim dan harus tunduk pada ketentuan Islam, tanpa meminta persetujuan negara. Inilah yang mendorong suara yang disorongkan Republika tentang jilbab di atas.

Apakah dengan itu telah terjadi "konflik loyalitas" di kalangan polisi?

Karena polisi tersosialisasi dan berkembang sebagai sebuah korp yang melayani kepentingan negara, maka jawabannya adalah "tidak". Artinya, Polri wajib  melindungi setiap warga negara tanpa melihat kelompok dan agamanya. Pandangan resmi inilah yang tersosialisasikan ke dalam struktur kesadaran anggota polisi.

Tetapi, terutama karena keanekaragaman ekstrems, kelompok-kelompok masyarakat (yang menjadi warga negara) belum tentu berbagi pandangan yang sama dengan polisi. Yang acap tepergok adalah fakta kelompok-kelompok masyarakat Indonesia lebih tersosialisasikan kepada gagasan dan aturan dan keyakinan di luar negara. Mereka yang menganut "pandangan umum keislaman", misalnya, akan lebih memperhatikan fatwa MUI tentang ketentuan-ketentuan keagamaan daripada peraturan-peraturan negara. Anggota-anggota "faksi" tertentu di dalam Islam, contoh lainnya, lebih tunduk atau loyal pada gagasan, pandangan, dan keyakinan yang disosialisasikan kepada mereka secara spesifik daripada peraturan-peraturan negara.

Sepanjang semua berjalan damai, tak ada masalah serius dihadapi polisi. Tetapi, seperti acap kita lihat, perbedaan pandangan dan keyakinan tersebut kerap diungkapkan dalam bentuk kekerasan atas nama agama. Sebuah status facebook pukul 5 pagi, Jumat, 11 April 2014, misalnya, menyatakan: "Jadi sekarang, yang lagi berperang untuk membela kesucian agama-Nya menjadi bodoh semuanya dalam pandangan Anda. Kalau begitu, biarlah Anda yang lebih pintar. Wassalam!" Pernyataan ini adalah kesimpulan penulis status itu, setelah berdebat sejak Kamis malam sebelumnya.

Kata "perang" di sini bermakna sebenarnya. Yakni, kekerasan yang absah menurut pandangan keagamaan  penulis status itu terhadap mazhab Islam tertentu. Pengalaman sepanjang masa reformasi ini, pandangan semacam ini telah kerap diterjemahkan ke dalam kekerasan. Dalam konteks inilah, menurut saya, letak kepelikan posisi sosiologis, sosial budaya, dan keagamaan Polri. Ini terjadi karena negara--sebagai lembaga "sekuler"--tidak mempunyai otoritas atas pandangan-pandangan keagamaan. Dan karena alat negara, maka Polri juga tak memiliki otoritas yang sama.

Tetapi, akankah Polri berdiam diri? Jawabannya: tidak. Yang mungkin dilakukan adalah mengajukan soft power--sebagai pengejawantahan diskresi Polri. Yaitu, pembentukkan "Gugus Tugas Sosial-Budaya dan Keagamaan". Dengan "gugus tugas" ini, Polri secara teoretis bisa mencapai nilai strategis tersendiri.

Pertama, berdasarkan UU No 2/2002 Polri adalah penanggung jawab keamanan dan ketertiban dalam negeri. Karena itu, posisi Polri tepat di tengah-tengah dinamika masyarakat. Kedua, posisi ini strategis bagi Polri untuk mengembangkan secara lebih konseptual dan bermakna tindak "diskresi". Yaitu, pengambilan keputusan dan tindakan berdasarkan dinamika kemasyarakatan yang metode penanganannya tidak atau belum ada di dalam tertib tindakan resmi. Ketiga, berkaitan kuat dengan poin kedua di atas, dengan gugus tugas ini Polri mempunyai kesempatan luas memperoleh bahan-bahan atau materi dinamika dan pergolakan kemasyarakatan. Karena itu, Polri adalah satu-satunya satuan pemelihara keamanan yang mempunyai potensi pengembangan pengetahuan masyarakat secara akademik dan, akhirnya, menjadi "pusat pengetahuan sosial-budaya". Keempat, pengetahuan akademik atas dinamika dan pergolakan kemasyarakatan ini akan memberikan otoritas absah bagi Polri sebagai pemecah persoalan kemasyarakatan dalam kaitannya dengan masalah budaya, sosial, dan keagamaan. Kelima, kemampuan memecahkan persoalan kemasyarakatan dengan "diskresi" akan menimbulkan fase baru peranan Polri, karena pendekatan legitimate voilence (kekerasan yang absah) dalam proses penegakan hukum menjadi tereduksi secara signifikan. Keenam, keamanan dan ketertiban yang ditegakkan Polri melalui "diskresi" ini bukan saja akan membuat negara lebih terjaga, melainkan juga akan menjadi model bagi korp polisi di negara-negara lain.

Fachry Ali

Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement