Senin 21 Jul 2014 16:00 WIB
tajuk

Mendinginkan Klimaks Politik

Red:

Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan kedua calon presiden dan calon wakil presiden menjelang berbuka puasa, Ahad (20/7) petang, harus kita sikapi dengan serius. Pidato itu disampaikan di tepi titik klimaks politik nasional tahun ini. Karena, pada 22 Juli, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan siapa pemenang Pemilihan Presiden 2014.

Presiden membaca ada atmosfer kekhawatiran situasi negara saat pengumuman Selasa pekan ini. Karena itu, dalam pidatonya presiden menegaskan sejumlah hal kepada (terutama) pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pertama, kita bisa melihat presiden meminta kedua pasang capres/cawapres untuk memegang teguh komitmen mereka mengawal proses dan hasil pemilihan presiden (pilpres).

Komitmen menerima hasil pilpres dengan damai sangat penting. Apalagi, masing-masing kubu sejak dua pekan terakhir perang pernyataan soal hasil pilpres. Ada yang menyatakan kubunya akan menang kalau tidak dicurangi. Dibalas dengan sikap ingin menunda pengumuman pemenang pilpres sampai awal Agustus karena banyak kecurangan oleh penyelenggara pemilu. Kedua kubu seolah mengatakan mereka tak siap kalah secara ksatria.

Masyarakat membaca pernyataan elite-elite politik itu dengan gemas diselimuti rasa was-was. Karena, seperti kata Presiden SBY dalam pidatonya, rakyat sesungguhnya menyukai silaturahim antarelite politik. Kebersamaan kedua kubu yang bertarung habis-habisan bisa menciptakan suasana teduh. Sikap menahan diri menjadi sangat penting.

Presiden mengatakan, terlalu mahal rasanya kalau hanya karena pilpres, persatuan, persaudaraan, dan kebersamaan rakyat Indonesia hancur. Menyatukan kembali bangsa pascakonflik macam ini sukar bukan main. Sudah banyak negara yang jadi contoh bagaimana rekonsiliasi politik berjalan sia-sia.

Pilpres 2014 adalah salah satu peristiwa politik paling keras sepanjang Indonesia berdiri. Pilpres ini kita rasakan mengubah perilaku sosial masyarakat. Munculnya media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Blackberry Messenger ikut memengaruhi perubahan itu.

Kita melihat bagaimana perang wacana merembet ke mana-mana. Cenderung merusak silaturahim antarpersonal di masyarakat dan di media sosial. Unfriend dan unfollow di Facebook/Twitter kian sering. Tak jarang fitnah dan kabar bohong sengaja disebar untuk memperkeruh situasi. Tetangga saling konflik. Pertemanan rusak. Pewarta pun sampai baku pukul hanya karena membela kandidat pilihannya.

Ironisnya, konflik juga menyeret para cerdik pandai yang harusnya bisa lebih bijak membaca situasi. Publik melihat para pakar dan sarjana ilmu sosial dan statistik berbeda pendapat sampai harus saling mencaci. Pembaca pun bingung membaca pers di media cetak, media televisi, serta elektronik terbelah dua dengan tajam. Sukar mendapat informasi yang relatif netral.

Kita berharap, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK serta para pendukungnya menyadari serta memilih menahan diri dalam sepekan ini. Karena itu, kita setuju dengan apa yang Presiden SBY sampaikan. Kita melihat bagaimana Presiden SBY mengambil peran penengah dalam situasi politik panas seperti ini. Presiden ingin meninggalkan warisan demokrasi yang baik setelah berkuasa selama 10 tahun. Warisan itu akan dinilai positif oleh kita, bangsa Indonesia, dan oleh pihak internasional.

Dan, tentu bukan tanpa alasan mengapa Pilpres 2014 berjalan pada bulan suci Ramadhan. Ada pesan kuat yang terpancar dari situ. Demokrasi bisa selaras dengan bulan suci Ramadhan. Kompetisi politik yang panas idealnya memang berakhir dengan teduh lewat senyum, silaturahim, dan saling memaafkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement