Bayangkan, nyaris 190 juta orang rela antre di depan bilik-bilik pemungutan suara pada 9 Juli lalu. Apa yang menyulut keikhlasan mereka--yang sebagian besar sedang berpuasa itu--untuk hadir? Tak mungkinlah mereka sedang kehilangan kewarasan secara bersama-sama. Tentu ada sesuatu yang mendorong mereka untuk secara rasional menunjukkan pilihan sikap lewat kotak suara.
Hanya harapan yang masih menyala yang dapat membawa kita berduyun-duyun ke tempat-tempat pemungutan suara. Inilah kita, kumpulan orang-orang yang masih percaya kebaikan dapat menang dan kejayaan dapat diraih. Kita orang-orang yang yakin di tangan pemimpin mendatang bangsa ini kian mendekati cita-cita agung.
Harapanlah yang membuat negeri ini tetap hidup kendati berkali-kali mengalami era kelam penindasan. Kita--yang percaya tongkat dan kayu dapat menjadi tanaman serta lautan adalah kolam susu--yakin masih ada harapan akan keadilan, kebaikan, kedamaian, dan kesejahteraan. Ibarat Plato mengangankan republik dan Sir Thomas More mengidamkan utopia. Kita bukan laskar pesimistis ala negeri distopia.
Pada hari ini (22/7), Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan hasil pemungutan suara. Akan lahir pasangan pemenang pemilihan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2014-2019. Akan terungkap pula pasangan kandidat yang gagal memenuhi target politik mereka. Tapi, kita tidak akan berlarut-larut dalam salah satunya, keriaan maupun kemurungan, karena pemilu barulah separuh jalan harapan.
Sejak menusukkan paku di bilik suara, sesungguhnya kita merintis jalan harapan. Kita sadar pemimpin terpilih bisa jadi bukan sosok yang kita inginkan. Kita mungkin mendapatkan presiden baru yang tak sesuai dengan preferensi pribadi, namun kita telah dewasa untuk memasrahkan kepercayaan dan harapan kepada siapa pun yang terpilih.
Ingat, kita tidak pernah patah arang mengikuti pemilu, tercapai ataupun tidak harapan kita. Kita datang dan datang lagi. Kita setidaknya telah menyampaikan suara, hal yang menjadi bekal terbesar ketika kita mengawasi penggenggam kekuasaan kelak. Siapa pun mereka, pilihan pribadi kita atau bukan, sejatinya adalah pasangan terbaik yang memiliki kualitas kebijaksanaan, keberanian, kedisiplinan, kesederhanaan, dan keadilan.
Kita berharap bangsa ini akan segera mengawali era baru, lepas dari ingar-bingar kampanye dan kembali pada tanggung jawab masing-masing. Kita sadar akan ada pihak yang kecewa yang mempersoalkan hasil pemilu. Itu wajar dan merupakan bagian sah dari proses pemilihan. Ada Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan menyelesaikan persoalan. Biar para hakim konstitusi yang memutuskan. Dari sisi kita sudah cukup.
Benar kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selama inipun kita sebagai rakyat tetap dalam kondisi sejuk, damai, dan menjalani kehidupan seperti biasa. Jadi, tak ada gunanya memancing-mancing dari kita kericuhan. Dari situasi memilih nomor 1 atau 2, ujung-ujungnya kita memilih sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Itu bukan bualan atau omong kosong atau candaan belaka.
Pemilu 2014 yang lancar adalah prestasi politik dan demokrasi kita. Ini bukan hal yang mudah. Kita sebagai rakyat yang tenang dan damai berharap para pelaku politik akan kembali bersama kita, tidak larut dalam ketegangan terus-menerus. Pihak yang kalah mengakui dan mendukung. Pemenang merangkul.