Dua hari lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan jumlah penduduk miskin per September 2015 mencapai angka 28,51 juta orang atau 11,13 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah orang miskin tersebut naik sebesar 780 ribu orang bila dibandingkan per September 2014.
Bila kita mencoba mencermati kenaikan angka kemiskinan tersebut, sebenarnya seperti 'menampar' wajah pemerintahaan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Jokowi-Jusuf Kalla memang baru memerintah pada Oktober 2014. Tapi, itulah masa satu tahun pertama duet Jokowi-JK memimpin negara ini.
Bagaimana pun, kenaikan jumlah orang miskin itu sebagai sebuah pencapaian kurang mengembirakan bagi Presiden Jokowi yang dalam kampanye selalu mengutamakan membela kepentingan orang-orang kecil. Memang, pemerintah bisa saja berdalih kenaikan jumlah orang miskin tersebut akibat terpengaruh kondisi ekonomi global yang melambat dan memengaruhi ekonomi di dalam negeri.
Namun demikian, kondisi tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan bahwa kenaikan jumlah orang miskin merupakan sesuatu yang layak. Faktanya, pasti ada kebijakan pemerintahan yang kurang tepat, sehingga jumlah orang miskin bisa bertambah.
Ini bisa dibuktikan dari data BPS yang diumumkan pada Senin (4/1) tersebut. Angka kemiskinan pada September yang mencapai 28,51 juta orang itu sebenarnya turun bila dibandingkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 yang mencapai 28,59 orang. Atau, turun sekitar 800 ribu orang.
Kepala BPS Suryamin menyebutkan, salah satu faktor yang menyebabkan penurunan jumlah penduduk miskin pada Maret-September adalah relatif rendahnya inflasi umum di level 2,69 persen. Penurunan jumlah penduduk miskin ini juga dipengaruhi perekonomian yang tumbuh 7,12 persen pada triwulan ketiga 2015 dibandingkan triwulan pertama.
Sejumlah terobosan pemerintah untuk menggerakkan pembangunan proyek-proyek infrastruktur di berbagai daerah turut memberi andil tumbuhnya perekonomian nasional di periode itu. Ekonomi tumbuh setelah proyek-proyek infastruktur pemerintah berjalan di tengah proyek-proyek swasta mengalami pelambatan akibat kondisi ekonomi global yang juga melemah.
Kalau kita mau jujur, terobosan-terobosan seperti inilah yang tidak dilakukan pemerintah pada periode September 2014-Maret 2015. Memang, pemerintah bisa saja memberi alasan bahwa pada awal pemerintahan Jokowi-JK terpaksa menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok melonjak dan daya beli masyarakat menurun. Namun, pemerintah seharusnya sejak awal sudah memiliki program untuk menahan laju kenaikan harga tersebut, sehingga angka kemiskinan tidak bertambah.
Sebab, di negara mana pun kesuksesan sebuah pemerintahan, salah satunya, diukur dari semakin berkurangnya jumlah orang miskin. Pemerintahaan yang sukses meningkatkan pertumbuhan ekonomi akan tetap dianggap gagal jika tidak mampu mengurangi jumlah orang miskin. Pemerintah yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi tidak mampu menekan jumlah orang miskin berarti memiliki program pembangunan pemerintah yang hanya menguntungkan sebagian orang kaya, tapi tidak menyentuh seluruh rakyat. Alasan itulah yang menyebabkan angka orang miskin menjadi sangat penting dan merupakan salah satu tolok ukur sukses tidaknya pemerintahan seorang presiden.