Dua hari berturut-turut, Indonesia khususnya masyarakat Jakarta, disuguhi bom teror. Bom teror pertama diledakkan oleh oknum politikus DPR pada 13 Januari malam yang merenggut dana harapan hidup atas operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Senayan.
Bom kedua diledakkan oleh teroris pada 14 Januari kemarin pukul 10.15 WIB yang merenggut tujuh korban kematian. Jakarta pun siang kemarin cukup mencekam walaupun beberapa jam kemudian kita saksikan para pedagang asongan asyik melayani pelanggan dan pasukan keamanan yang saling senda gurau.
Ledakan bom Sarinah terjadi persis ketika saya sedang menghadiri seminar Internasional "Islam Moderat" di Hotel Kartika Chandara, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Atas alasan apa pun, aksi terorisme tersebut sangatlah terkutut.
Saya sangat mengapresiasi imbauan Kadiv Humas Mabes Polri untuk tenang dan tidak berspekulasi atas ledakan bom ini. Namun, tak ada salahnya kita coba membangun konsolidasi berpikir konstruktif merangkai kisah hingga aksi ini dilakukan.
Pada akhir 2015 dunia seolah dipaksa untuk terjaga dari tidurnya agar tak ada lagi aksi terorisme yang bebas mengancam. Hal itu dipicu oleh aksi bom Paris pada Jumat malam, 13 November 2015. Otoritas keamanan Paris dibuat panik. Diberitakan, delapan orang tewas dan ratusan orang terluka.
Dua bulan kemudian, Selasa 12 Januari 2016, kota cantik Istanbul pun diguncang ledakan bom, tepatnya di alun-alun Sultanahmet Istanbul, kawasan wisata paling populer. Diberitakan, korban tewas sampai 10 orang dan banyak yang mengalami luka serius.
Yang menarik, dari dua ledakan bom di dua kota tercantik di dunia tersebut diklaim ISIS sebagai kelompok yang bertanggung jawab. Bahkan, ISIS pun tiba-tiba mengklaim bertanggung jawab atas jatuhnya pesawat Rusia di Sinai pada 31 Oktober 2015.
Tampaknya, ISIS berhasil menjadikan akhir 2015 sebagai tahun suu'ul khatimah (baca: buruk akhirnya) dari perdamaian dan membuka teror ancaman pada awal 2016. Jika benar pelakunya adalah jaringan ISIS, seyogianya masyarakat dan Pemerintah Indonesia harus membangun soliditas yang kuat. Walaupun sampai hari ini dunia geopolitik internasional belum berhasil secara komprehensif 'mendefinisikan' siapa itu ISIS.
Kalaupun gerakan radikalis mengatasnamakan agama ini sebagai pelakunya, rasa-rasanya sangat sulit jika tidak ditopang operator yang super power. Alasannya, alutsista ISIS yang sudah menyamai kekuatan satu atau dua negara, Irak dan Suriah. Pemerintah RI pun harus mengevaluasi kinerja intelijen jika benar ISIS sudah berhasil menerobos kedaulatan kita.
Perlu kiranya dipertimbangkan juga ledakan bom Sarinah kemarin dengan travel warning yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Australia pada 7 Januari 2016 kepada seluruh warganya yang berada di Indonesia. Bahkan, Menlu Retno Marsudi merasa heran. Sebab, situasi keamanan dalam negeri RI cukup kondusif.
Tak ada salahnya Pemerintah RI melakukan konfirmasi investigatif yang berkedaulatan. Travel warning yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat dan Australia sejatinya tidak menambah daftar kebencian sebagian kalangan Muslim fundamentalis terhadap kedua negara tersebut. Atau, spekulasi yang paling dikhawatirkan justru memang travel warning tersebut dikonstruksi rapi untuk sebuah kebutuhan tertentu.
Selanjutnya, ledakan bom di Sarinah pada 14 Januari kemarin sebetulnya pada hari yang sama dengan deadline Freeport tawarkan divestasi. Apakah ini sebuah pengalihan isu?
Saya kira, yang berspekulasi dengan teori ini sudah hilang kepercayaan keindonesianya. Indonesia terlalu besar dengan aksi terorisme kemarin. Kita bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Saya yakin, pemimpin negeri ini masih punya hati.
Namun, isu global yang paling laku di bursa pasar internasional adalah terorisme berbasis agama. Riset banyak membuktikan bahwa tidak sedikit negara di dunia khususnya negara-negara besar yang sangat bergantung terhadap minyak dan industri persenjataan.
Arab Spring, misalnya, pemicu awalnya, antara lain, karena Cina menguasai hampir dua per tiga minyak-minyak kawasan Afrika Utara-Timur Tengah. Negara-negara kapitalis sangat paham bahwa negara yang kuat adalah yang menguasai minyak dunia.
Untuk mengubah perjanjian minyak antara Cina dan negara-negara kawasan Afrika Utara-Timur Tengah, negara-negara kapitalis mendistribusikan sebuah produk yang disebut dengan 'demokratisasi'. Produk inilah, di antaranya, yang mengubah peta politik ekonomi Timur Tengah.
Spekulasi lainnya, pelaku adalah pemain lama. Maraknya penistaan terhadap agama dimulai dari terompet yang terbuat dari sampul Alquran, celana dalam bertuliskan Alquran, menari di atas sajadah, hingga gema azan dan takbir mengiringi lantunan Natal di gereja bagi sebagian kalangan awam boleh jadi hal ini memicu mereka untuk melakukan aksi balasan agar penistaan terhadap simbol-simbol agama tidak terulang.
Jika hal ini benar, sangat merugikan dirinya sendiri. Justru, orang akan semakin banyak apriori terhadap agama Muhammad ini. Yang dikhawatirkan, jika hal ini berlanjut sampai kepada gamangnya nilai-nilai luhur Kitab Suci dan hadis Nabi, terlebih pilihan profesional kepemimpinan nasional.
Yang tidak kalah pentingnya juga spekulasi politik. Tak ada yang tidak mungkin dalam dunia politik, tak ada kawan sejati dan musuh sejati. Ekonomi yang belum juga pulih, penegakan hukum yang lemah, konsolidasi politik yang rapuh, dan gaduhnya partai politik menjadikan sebagian orang mengambil jalan pintas karena bosan dan menjemukan.
Dari sekian spekulasi teori apa pun, argumen dan alasannya tidaklah dapat dibenarkan ledakan bom Sarinah tersebut. Untuk mencapai sebuah tujuan, tidaklah dengan cara menghalalkan segala cara.
Negara tidak boleh kalah dengan teroris, tindak dengan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, tetap arif memilah dan memilih sikap yang menenangkan rakyat, bukan sebaliknya dengan menggerus kehormanisannya. n
Abdul Muta'ali
Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia