Sabtu 28 May 2016 19:30 WIB

Indonesia Juara Merokok

Red: Arifin

Riset Atlas Tobbaco menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat satu dunia dalam hal jumlah perokok. Peringkat kedua jumlah perokok ditempati Rusia, kemudian Cina, Filipina, dan Vietnam.

Sebanyak dua dari tiga laki-laki di Indonesia adalah perokok.

Jumlah perokok di Indonesia mencapai 90 juta orang. 

Ya, Indonesia sudah menjadi juara dalam konsumsi rokok.

Bangga? Tentu saja tidak, mengingat begitu besarnya dampak rokok bagi kesehatan. Kita mestinya malu dengan gelar itu.

Angka perokok yang disajikan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 juga memprihatinkan. Disebutkan bahwa perokok berusia 15 tahun ke atas cenderung terus meningkat. Semula dari 34,2 persen pada 2007 menjadi 36,3 persen pada 2013.

Kondisi ini merata di seluruh provinsi di Indonesia. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2014 menunjukkan prevalensi perokok anak usia 13 sampai 15 tahun sebesar 20,3 persen. 

Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan kita. Dalam keseharian di masyarakat, kita memang makin sering diberikan pemandangan anak-anak yang masih SD atau SMP sudah mengisap tembakau. Bahkan, beberapa waktu lalu beredar sebuah video yang menggambarkan balita yang terampil mengisap rokok.

Konsumsi rokok terus meningkat seiring dengan makin banyaknya anak-anak muda yang merokok. Mereka ini tergiur merokok antara lain karena meniru perilaku orang dewasa atau menonton iklan yang dibuat perusahaan rokok. Pabrik rokok memang menjadikan anak-anak muda sasaran iklannya.

Data dari GYTS menyebutkan, anak-anak mengaku pernah melihat iklan promosi rokok di toko (60,7 persen), melihat perokok di TV, video, atau film (62,7 persen), dan pernah ditawari salesrokok (7,9 persen).

Kita berpendapat, semestinya pemerintah serius menangani masalah ini. Anak-anak muda kita tidak bisa dibiarkan terjebak menjadi perokok. Perlu dilakukan langkah-langkah serius jika kita tidak ingin makin banyak generasi muda yang kecanduan rokok. Iklan rokok di televisi mesti dibatasi, kawasan tanpa rokok (KTR) harus diperluas, aturan mengenai pembatasan konsumsi rokok mesti diperkuat.

Sayangnya, komitmen pemerintah terhadap penanggulangan dampak rokok ini masih belum maksimal. Sebagai contoh, Indonesia adalah salah satu negara yang belum menandatangani Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Selain Indonesia, negara lain yang belum menandatangani FCTC adalah Andorra, Eritrea, Liechtenstein, Malawi, Monaco, dan Somalia. Padahal, kini sudah 180 negara pihak yang telah meratifikasi FCTC, yang artinya telah mencakup 90 persen populasi dunia.

FCTC merupakan instrumen penting dalam pengendalian rokok. Tanpa FCTC, Indonesia akan terus terisolasi dan tidak punya akses untuk melindungi warganya. FTCT merupakan konvensi yang paling banyak mendapat respons dalam sejarah PBB. Hal ini membuktikan, pengendalian tembakau ini begitu penting dan hukum nasional memiliki keterbatasan sehingga tidak dapat menjangkau aspek-aspek lintas batas negara.

Indonesia tidak memiliki perlindungan atau payung hukum yang kuat mengenai tembakau. Akibatnya konsumsi rokok terus naik. Indonesia menjadi juara merokok. Anak-anak muda menjadi korbannya.

Sampai kapan gelar juara merokok yang memalukan itu kita sandang? Sampai kita berhasil menekan konsumsi rokok tentunya. Kecuali kita tidak melakukan langkah-langkah serius dan justru bangga dengan gelar itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement