Harga cabai di beberapa daerah di Tanah Air meningkat tajam. Pedagang di pasar tradisional di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua, mengeluhkan lonjakan harga cabai yang drastis. Dalam dua pekan terakhir, harga cabai serentak melesat dan menembus Rp 100 ribu per kilogram.
Harga cabai rawit di pasar tradisional Aimas Kabupaten Sorong, Papua Barat, selama sepekan terakhir ini, naik hingga mencapai Rp 250 ribu per kilogram. Pedagang Pasar Aimas Kabupaten Sorong menawarkan satu kilogram cabai rawit seharga Rp 250 ribu atau naik Rp 190 ribu dari harga sebelumnya Rp 60 ribu per kilogram.
Selain Papua, harga cabai rawit tertinggi di Indonesia ada di pasar di Raja Ampat dan Kalimantan Timur. Di Raja Ampat, harga satu kilogram cabai rawit sudah menembus Rp 200 ribu. Sementara di Nunukan, harga satu kilogram mencapai Rp 150 ribu. Kenaikan harga baru terjadi beberapa hari terakhir.
Kenaikan harga cabai karena pasokan dari agen dan petani terbatas, sedangkan permintaan di pasar cukup tinggi. Pemerintah mengatakan, minimnya pasokan cabai lantaran cuaca.
Menko Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, kenaikan harga cabai karena cuaca memang selalu berulang setiap tahun. Harga cabai akan naik ketika musim hujan lantaran lahan petani terlalu banyak terkena air. Apalagi, saat musim hujan, cabai tidak hanya membusuk terkena air, tetapi juga terkena jamur.
Pemerintah pun disebut tengah mematangkan rencana untuk mengatasi persoalan kenaikan harga cabai yang selalu berulang setiap tahun. Antara lain, dengan mengalihkan pasokan dari daerah yang sudah memasuki masa panen raya cabai, seperti di Kediri, Jawa Timur. Dengan begitu, harga cabai bisa lebih dikendalikan.
Kita berharap, langkah yang diambil pemerintah tidak hanya untuk jangka pendek, yaitu mengatasi kenaikan harga pada saat terjadi krisis saja. Akan tetapi, juga secara jangka panjang, yaitu agar tidak terjadi lagi kenaikan harga pada masa mendatang.
Apalagi, sudah banyak kajian yang dapat menjelaskan kenaikan harga komoditas pangan di Indonesia, yang dapat dijadikan acuan oleh pemerintah. Selain cuaca, faktor lain, misalnya, serangan hama atau penyakit, spekulasi tengkulak, buruknya pengelolaan stok pangan nasional, dan lemahnya regulasi pengaturan harga oleh pemerintah.
Cuaca dan serangan hama memang menjadi faktor yang kerap menjadi penyebab naiknya harga pangan. Akan tetapi, selalu menyalahkan hal-hal tersebut untuk setiap hasil buruk yang muncul, juga bukan menjadi hal yang baik. Apalagi, setiap tahun kita menghadapi masalah yang lebih kurang sama.
Pemerintah harus sudah menjadikan masalah pangan sebagai isu penting dan mengambil langkah yang tepat. Apalagi, mengingat semakin menguatnya fenomena keterbatasan lahan untuk pangan yang akhirnya, akan berujung pada krisis pangan dunia pada masa mendatang.
Di satu sisi, kondisi ini bisa menjadi kesempatan bagi Indonesia sebagai negara agraria untuk dapat menjadi salah satu negara yang maju. Dengan pengaturan yang baik, mengendalikan harga cabai dan komoditas pangan lain yang selalu naik rutin setiap tahun, bukan sesuatu hal yang mustahil. Begitu juga, dengan mimpi pemerintah untuk bisa mewujudkan swasembada pangan.
Malah bukan hanya itu, menjadi negara yang ikut memegang kendali pangan di kancah internasional juga tidak menjadi keinginan yang berlebihan. Mengingat, Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan besar untuk itu.