Cabai adalah komoditas penting bagi kebanyakan rakyat Indonesia, terutama bagi masyarakat kalangan bawah. Betapa tidak, tatkala daging hanya menjadi impian di meja makan, orang miskin hanya bisa bertemu sepiring nasi dan secolek sambal sebagai teman bersantap.
Tak sedikit masyarakat kita yang bertahan hidup hanya dari nasi dan sambal. Namun, kini problem kelangkaan mendera. Harga cabai melambung hingga menyentuh level harga gila-gilaan. Di Samarinda dan Aceh, cabai sempat menyentuh harga Rp 250 ribu per kilogram (kg).
Di kota lain berkisar Rp 90ribu-120 ribu per kg. Selama ini bahan makanan memberi andil cukup besar dalam laju inflasi. Cabai, misalnya, bisa menyumbang hingga 0,35 persen. Faktor cuaca disebut sebagai alasan di balik ekstremnya harga cabai.
Betulkah cuaca ekstrem penyebab gonjang-ganjing harga cabai? Sesungguhnya fenomena perubahan iklim bukanlah satu-satunya faktor yang memicu melonjaknya harga pangan, termasuk cabai.
Kian menyempitnya lahan pertanian akibat desakan penduduk yang membutuhkan permukiman, yang disertai laju konversi lahan pertanian ke nonpertanian adalah faktor penting lain yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Di Indonesia, laju konversi lahan ini mencapai 1,5 persen atau sekitar 400 ribu hektare per tahun. Tak hanya soal konversi lahan, pertanian Indonesia didera sejumlah persoalan, mulai ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, sumber daya air, dan status kepemilikan lahan.
Masalah lainnya adalah lemahnya sistem perbenihan dan perbibitan, terbatasnya akses petani terhadap modal, serta belum terpadunya antarsektor dalam pelaksanaan pembangunan pertanian.
Untuk itu, sebagai solusi jangka panjang, pemerintah harus fokus membangun sektor pertanian dan sektor industri berbasis pertanian. Mengapa? Kita ambil contoh kasus cabai. Kejayaan harga cabai ternyata tidak berimbas pada kenaikan harga di tingkat petani.
Ini ada apa? Setelah ditelisik ternyata keuntungan terbesar justru dinikmati pedagang hingga bisa melebihi 30 persen, sedangkan para petani tidak mendapatkan keuntungan signifikan. Kita tahu, dalam tata niaga yang menikmati harga berlipat-lipat adalah pedagang.
Tidak adanya pengawasan yang baik oleh pemerintah menjadikan banyak pasar komoditas mematok harga melewati batas wajar. Untuk itu, tata niaga adalah hal yang harus dibenahi. Mestinya ada upaya pemerintah untuk memperkuat kelembagaan petani.
Selama ini pemerintah tampak lemah dalam soal demikian. Sepertinya untuk urusan peningkatan produksi, kebijakan pemerintah lebih dominan. Tak heran jika kemudian pemerintah begitu all out, bahkan bisa dibilang ngoyo dan mati-matian untuk mengejar target-target peningkatan produksi.
Tak sedikit kalangan yang kemudian menyimpulkan, pemerintah sengaja mengejar target-target produksi tersebut karena ada kepentingan untuk menjaga citra kinerja pemerintah. Syukur-syukur ketika predikat swasembada bisa diraih, tentu akan meningkatkan citra pemerintah, baik di mata publik dalam negeri maupun dunia internasional.
Apalagi kalau berhasil melakukan ekspor, tentu nama pemerintah akan harum lantaran tercatat prestasinya menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Sementara soal distribusi dan konsumsi, langkah-langkah strategis pemerintah kurang begitu terasa.
Padahal, kita tahu tak mudah menjamin distribusi pangan yang adil. Di sini, sangat dibutuhkan sentuhan berbagai kebijakan, di antaranya soal harga. Agar setiap penduduk dapat dengan mudah mendapatkan pangan, politik pangan negara mestinya mengarah, bagaimana pangan itu bisa murah.
Teknologi adalah soal berikutnya. Cabai, misalnya, punya sifat mudah busuk. Di sinilah peran pemerintah memberikan fasilitas distribusi yang mampu menjaga cabai tetap segar sampai ke pembeli. Penanganan pascapanen perlu dibenahi, dengan menyediakan mobil pendingin dan gudang pendingin di sejumlah sentra produksi.
Jika kesegaran masih terjaga, harga di tingkat petani akan tinggi sehingga mereka diuntungkan. Karya-karya berharga dari anak negeri tidaklah sedikit. Sayangnya, hingga kini belum maksimal pemanfaatan hasil penelitian tersebut secara nyata di masyarakat.
Agar dapat memberikan penyelesaian mahalnya harga komoditas pangan dan memberikan efek kesejahteraan bagi petani, mestinya pemerintah segera menyusun kebijakan bagaimana sistem pemanfaatan berbagai teknologi unggul (varietas, pengolahan, dan lain-lain) temuan peneliti-peneliti kita dalam menjawab permasalahan cabai di Tanah Air.
Jangan sampai penelitian yang telah susah payah dilakukan, tentu dengan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang tidak sebentar, menjadi mandul dalam menjawab problem-problem pertanian kita.
Hingga kini pun masih tampak lemahnya upaya pemerintah mengintroduksi hasil-hasil penelitian yang ada ke petani di berbagai daerah.
Pada hakikatnya, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, mestinya pemerintah segera melakukan langkah-langkah pemanfaatan iptek untuk tujuan-tujuan kesejahteraan rakyat.
Jalan yang bisa ditempuh pemerintah adalah dengan mengenalkan hasil penelitian tersebut ke petani-petani di sentra-sentra cabai, kemudian disambungkan kemitraannya dengan industri makanan sehingga hasil panen petani ini sudah jelas pasar penampungnya.
Kita sadari, salah satu permasalahan dalam pembangunan iptek di Tanah Air adalah belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek, yang menjembatani interaksi antara kapasitas penghasil iptek dan kebutuhan pengguna.
Hal ini dapat terlihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, antara lain, institusi yang mengolah dan menerjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi.
Di samping itu, masalah tersebut dapat dilihat dari belum efektifnya sistem komunikasi antara lembaga penelitian, petani, dan pihak industri.
Jika kita cermati kembali hakikat pembangunan iptek ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mestinya pemerintah segera melakukan langkah-langkah pemanfaatan iptek untuk tujuan-tujuan kesejahteraan rakyat. Saatnya kita akhiri mahalnya harga cabai!
Manajemen pangan
Kepemimpinan yang tidak efektif merupakan salah satu sebab mengapa Indonesia tak jua memiliki sistem manajemen pangan yang andal. Para pemimpin negeri ini seharusnya bisa merancang sistem yang andal demi menopang stabilitas pangan nasional.
Masalah pangan seharusnya tidak diletakkan pada pasar global, tetapi pada kemampuan rakyat suatu negara. Di Indonesia, sejarah telah membuktikan bahwa unsur yang mampu menjamin keberlangsungan pangan adalah kearifan lokal dan keanekaragaman hayati.
Dengan demikian, urusan pangan menekankan pada keputusan pemerintah nasional (lokal), bukan kepada badan perdagangan internasional seperti WTO yang selama ini lebih banyak menciptakan 'jeratan' ketimbang solusi dalam persoalan pangan.
Sebagai salah satu jawaban atas jeratan pangan global, pemahaman serius terhadap pola pikir kedaulatan pangan memang menjadi sangat strategis dan urgen.
Terlebih bila terekam adanya sebuah suasana bahwa sekarang ini, pangan diperjualbelikan demi menumpuk keuntungan sebesar-besarnya. Pangan sudah tidak dipandang sebagai bagian dari kebutuhan untuk mengganjal perut.
Pangan sudah tidak dipersepsikan sebagai komoditas kemanusiaan. Di sinilah komitmen pemerintah untuk menjamin hak atas pangan bagi seluruh warga negara dipertaruhkan.
Rahmat Pramulya
Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat