Perubahan iklim jadi masalah bagi seluruh negara di dunia. Tidak terkecuali Indonesia. Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, perubahan iklim global memiliki pengaruh masif terhadap meningkatnya bencana hidrometeorologi di dunia.
"Bencana hidrometeorologi mendominasi sekitar 76 persen dari total bencana di dunia," ujarnya. Bencana hidrometeorologi merupakan suatu jenis bencana yang dipengaruhi aspek cuaca, seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, cuaca ekstrem, puting beliung, kebakaran hutan dan lahan, serta gelombang pasang. Bencana-bencana besar di dunia meningkat sangat signifikan dalam beberapa dekade terakhir.
Ambil contoh, pada dekade 1900 sampai 1909, terdapat 72 kejadian bencana. Kemudian, dekade 1960-1969 tercatat 582 bencana. Sementara, dekade 2000-2009 menjadi 4.499 bencana.
Secara kumulatif, sejak 1900 hingga 2010, bencana hidrometeorologi menjadi yang terbesar dengan persentase sebesar 76 persen. Selama periode tersebut pula, korban meninggal dunia mencapai lebih dari 650 ribu orang. Musibah bencana hidrometeorologi, kata Sutopo, juga berpengaruh terhadap perekonomian dan kehidupan global.
Semisal, banjir di Pakistan pada 2010 yang menelan 1.700 korban jiwa dan kerusakan senilai 9,7 miliar dolar AS. Atau, banjir di Thailand setahun setelahnya yang menyebabkan 754 orang meninggal, 10 juta orang menderita dan kerugian mencapai 45 miliar dolar AS. "Pertumbuhan ekonomi Thailand pun merosot sekitar 2,4 persen," ujarnya.
Sutopo meyakini perubahan iklim global telah menyebabkan meningkatnya siklon tropis yang berakibat pada bencana banjir dan tanah longsor. Melongok ke negeri sendiri, Sutopo mengatakan, dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir, tren bencana hidrometeorologi di Indonesia juga terus meningkat dari sisi intensitas, frekuensi, sebaran, maupun magnitude-nya.
Berdasarkan data, sejak 2002 hingga 2014, terdapat 14.822 kejadian bencana di Indonesia. Sebanyak 14.599 kejadian bencana, di antaranya, bencana hidrometeorologi atau sebesar 98 persen. Terkait penyebab terjadinya bencana, Sutopo menyebut ada kombinasi antara faktor alam dan antropogenik atau akibat ulah manusia, seperti pengaruh dampak perubahan iklim, meningkatnya jumlah penduduk dan kerentanan, degradasi lingkungan dan kerusakan daerah aliran sungai (DAS), penataan ruang, lemahnya penegakan hukum, dan lemahnya kepemimpinan.
Di Tanah Air tercinta, perubahan iklim global sudah memberikan dampak, terutama dari sisi perubahan pola curah hujan. Sutopo menambahkan, frekuensi dan intensitas hujan ekstrem yang makin meningkat serta menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor. Durasi musim kemarau yang lebih panjang juga menyebabkan kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan ikut naik.
Sutopo melanjutkan, 95 persen bencana yang terjadi di Tanah Air merupakan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung, dan cuaca ekstrem. Pola hujan di Indonesia saat ini dinilai sudah mengalami perubahan. Hal ini ditandai makin seringnya hujan ekstrem dan musim hujan lebih pendek, akan tetapi musim kemarau lebih panjang.
Kondisi demikianlah yang menyebabkan kuantitas bencana hidrometeorologi meningkat. Kendati begitu, faktor antropogenik atau pengaruh manusia juga memiliki peranan penting. Bahkan, faktor ini lebih dominan menyebabkan terjadinya bencana, seperti kerusakan lingkungan, DAS kritis, dan penggundulan hutan.
Isu kompleks
Ketua Dewan Pengarah Penanganan Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja menjelaskan, perubahan iklim merupakan isu yang lebih kompleks dari sekadar mitigasi semata. Sebab, selain menghadapi bencana yang dapat ditimbulkan dari perubahan iklim, Indonesia juga menghadapi letusan gunung berapi, banjir, dan longsor. Beban Indonesia jauh lebih berat ketimbang negara lain.
"Kita ingin fair sajalah, yang bikin soal dia-dia (negara maju) juga sampai perubahan iklim terjadi dengan industrialisasi itu. Kok kita disuruh ikut rumus mereka untuk problem mereka ciptakan? Yang bener saja," kata Sarwono. Dia mengaku tidak mempermasalahkan isu mitigasi sebagai poin penting. Meski begitu, Indonesia harus meminta perhatian dari dunia terhadap permasalahan yang dihadapi akibat perubahan iklim.
Dengan kondisi geografis dan ekosistem lingkungan Indonesia yang sangat khas, Sarwono menginginkan agar dunia luar tahu bahwa Indonesia membutuhkan rumus sendiri untuk membenahi perubahan iklim. Semua demi menjamin ketiga penyangga kehidupan, seperti energi, pangan, dan sumber daya air. Di samping mitigasi, Sarwono menekankan pentingnya adaptasi.
Sejauh ini, belum ada negara yang membahas persoalan tersebut. Di Indonesia, adaptasi sangat krusial karena banyak penduduk dan kegiatan ekonomi Indonesia yang berada di wilayah pantai yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Jika kondisi di pantai terganggu akibat perubahan iklim, banyak orang di sekitarnya akan mengalami berbagai kesulitan, baik dari segi permukiman, kesehatan, hingga air.
ed: muhammad iqbal