Senin 21 Nov 2016 14:00 WIB

Memajukan Industri Keuangan Syariah

Red:

Kinerja industri keuangan syariah global sedang memasuki fase konsolidasi. Berdasarkan Islamic Financial Service Industry Stability Report 2016, perbankan syariah dan takaful hanya dapat tumbuh satu digit. Padahal, pada 2008 hingga 2013 selalu tumbuh dua digit.

Permasalahan serupa dialami Indonesia. Hingga Agustus 2016, aset perbankan syariah hanya tumbuh 4,8 persen. Angka tersebut menurun drastis, setelah pada 2008 hingga 2013 aset perbankan syariah pernah tumbuh hinga 40 persen. Dari sisi kinerja, dapat dikatakan bahwa bank syariah domestik berada di bawah kinerja bank konvensional.

Berdasarkan data dari Karim Consulting Indonesia, Return on Assets (ROA) bank syariah per Juli 2016 tercatat sebesar 0,6 persen, sedangkan ROA bank konvensional sebesar 2,6 persen. Sementara itu, dari sisi efisiensi, Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) bank syariah selalu melampaui perbankan konvensional sejak 2012. BOPO bank syariah tercatat sebesar 96 persen, dibandingkan BOPO bank konvensional yang sebesar 82 persen. Non-performing financing perbankan syariah secara industri pun meningkat melampaui lima persen. Kondisi tersebut tidak terlepas dari tantangan yang dihadapi industri keuangan syariah saat ini.

Setidaknya, ada empat tantangan yang tengah dihadapi perbankan syariah. Tantangan pertama adalah portofolio pembiayaan. Pembiayaan masih terkonsentrasi di sektor tertentu yang bersifat konsumtif, berupa kendaraan bermotor dan personal loan.

Tantangan kedua adalah instrumen likuid. Sebagai lembaga intermediasi, bank syariah tetap terekspos likuiditas. Pengelolaan risiko likuiditas bank syariah melalui pasar uang belum optimal karena keterbatasan instrumen yang likuid.

Tantangan selanjutnya adalah skala ekonomi. Perbankan syariah belum bekerja setara dengan bank konvensional dalam konteks skala ekonomi yang dipengaruhi oleh permodalan dan kapasitas yang belum semapan bank konvensional. Tantangan terakhir yang tak kalah penting adalah preferensi konsumen. Saat ini, konsumen belum tertarik memilih perbankan syariah karena informasi produk syariah kurang jelas, ongkos yang lebih mahal, pemahaman produk syariah yang belum cukup, serta keterbatasan layanan syariah.

Karena itu, edukasi sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perbankan syariah. Presiden Direktur Karim Consulting Indonesia, Adiwarman Karim, mengatakan, edukasi dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah oleh bank-bank itu sendiri. Cara yang pertama memiliki kekurangan karena bank-bank syariah di Indonesia masih tergolong kecil, sehingga kemampuan promosinya juga kecil.

Cara kedua adalah dengan dana rolling back dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Kalau dana itu bisa dimanfaatkan dan pengelolaanya dibicarakan dengan industri jadi sesuai dengan kebutuhan industri. Saya rasa ini harus dilakukan, di mana dalam penggunaannya melibatkan industri dan Dewan Syariah Nasional sehingga kita tak merasa seperti berjuang sendiri," kata Adiwarman saat berbincang dengan Republika di sela-sela acara penghargaan industri keuangan syariah bernama National Championship League di Seoul, Korea Selatan, awal bulan ini.

Ia juga menyayangkan banyaknya agenda edukasi yang bersifat sporadis. "Mahasiswa ini bikin. Mahasiswa itu bikin. Yang hadir cuma 100 sampai 200 orang," ujarnya. Ia berharap, acara-acara tersebut dapat disatukan, sehingga menjadi sebuah agenda besar. Sehingga, edukasi tersebut akan berdampak besar terhadap masyarakat.

Komisaris Bank Victoria Syariah sekaligus Sharia Ambassador, Sari Idayanti, menegaskan, perlu adanya mata pelajaran keuangan syariah di SMA agar masyarakat dapat betul-betul memahami. "Karena hanya sedikit yang tahu tentang syariah. Paling tidak itu sebagai informasi awal," ujarnya.

Ia mengakui, hanya segelintir orang yang mengerti tentang perbankan syariah. Bahkan mayoritas masyarakat pun menganggap bank syariah bukan sebagai pilihan pertama. Ia sangat menyayangkan hal tersebut karena mayoritas masyarakat di Indonesia adalah Muslim. "Syariah di Indonesia harusnya bisa lebih maju seperti di Malaysia, tapi memang mayoritas Muslim kita tidak mengerti keuangan syariah. Makanya perlu diadakan pendidikan syariah sejak dini," ujarnya.

Asuransi syariah

Asuransi syariah juga memiliki tantangan yang hampir serupa dengan perbankan syariah. Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang baik bagi industri asuransi syariah, karena memiliki jumlah populasi lebih dari 300 juta orang. Ekspansi masyarakat juga terus tumbuh hingga mencapai satu persen per tahun, dengan rata-rata pendapatan masyarakat terus tumbuh hingga lima persen per tahun.

Namun, pangsa pasar asuransi syariah di Indonesia tidak kurang dari tiga persen dibandingkan asuransi di Singapura. Bahkan, menjelang akhir Desember 2015, Indonesia hanya memiliki pangsa pasar sebesar 2,5 persen untuk keseluruhan polis asuransi.

Adiwarman Karim mengatakan, jumlah asuransi syariah di Indonesia relatif bertambah. Sejak berdirinya asuransi syariah pertama di Indonesia, pada 1994 hingga 2015, jumlah asuransi syariah di Indonesia telah bertambah menjadi 53.

Ia juga memprediksikan, hingga tahun-tahun ke depan jumlah asuransi akan terus bertambah karena adanya peraturan pemerintah mengenai modal minimum asuransi, serta rencana beberapa perusahaan asuransi syariah untuk melakukan spin-off sesuai peraturan Undang-Undang tentang Perasuransian.

Namun, pertumbuhan aset asuransi syariah mengalami fluktuasi. "Hal ini mengakibatkan market share aset asuransi syariah yang naik turun sejak 2011," ujarnya.

Pertumbuhan aset asuransi syariah tercatat menurun hingga delapan persen per Juli 2016. Ia memperkirakan pada akhir tahun aset asuransi syariah akan kembali turun.

Tingkat pertumbuhan rata-rata kontribusi bruto syariah juga fluktuatif. "Terjadi penurunan pada 2011 hingga 2014, dan meningkat di 2015. Kemudian kembali menurun pada Juli 2016," ujarnya.

Direktur Reasuransi Indonesia Utama, Eko Supriyanto Hadi, mengatakan, rendahnya pangsa pasar asuransi syariah di Indonesia pada dasarnya karena masyarakat belum sadar tentang keuntungan produk-produk syariah. Menurut dia, produk syariah di Indonesia kekurangan promosi.

"Pertama, munculkan dahulu insurance minded terutama syariah. Setelah mengerti, orang tersebut harus mengetahui produk mana yang sesuai," ujarnya.

Lagi-lagi, edukasi menjadi kunci utama. Eko mengatakan, edukasi kepada masyarakat mengenai keuangan syariah harus dilakukan secara berkelanjutan dan mencapai semua tingkatan masyarakat.

Tantangan selanjutnya dari asuransi syariah adalah produk yang terbatas. Industri asuransi syariah, kata dia, harus menciptakan produk baru yang bisa berguna, tak hanya menempel dari konvensional. "Yang terjadi sekarang ibaratnya asuransi konvensional disyariahkan. Itu salah. Coba cari yang benar-benar syariah," ujarnya.

Kendati demikian, ia menyadari adanya kesulitan dalam membuat produk baru. Salah satu kendalanya adalah kurangnya jumlah aktuari di Indonesia. Perusahaannya sendiri hingga saat ini hanya memiliki satu aktuari. "Aktuari itu susah tesnya. Sudah susah, sosialisasi tentang aktuari juga kurang," ujarnya.

Ia mengatakan, perusahaannya memiliki program menciptakan aktuari sebanyak mungkin. Salah satu cara yang dilakukan untuk menutup kekurangan aktuari di Indonesia adalah menciptakan setengah aktuari. "Artinya, ada orang yang dididik, misalnya, untuk menghitung cadangan dan lulus dengan standar PAI. Dia lulus hanya untuk satu kasus tertentu. Itu sudah cukup membantu," katanya.

Kendala lain dalam membuat produk baru, menurut dia, adalah asuransi syariah kurang banyak belajar. Ia berharap, industri dapat mendatangi reasuransi untuk belajar mengenai produk apa saja yang bisa dikembangkan. "Tugas reasuransi itu menciptakan produk baru," ujarnya.         Oleh Satya Festiani dari Seoul, Korea Selatan ed: Satria Kartika Yudha 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement