Kamis 01 Dec 2016 15:00 WIB

Skema Baru Mewujudkan Swasembada Sapi

Red:

Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap daging sapi sangat tinggi dan terus meningkat setiap tahunnya. Sayangnya, kondisi tersebut tidak diikuti dengan perkembangan populasi sapi. Kuantitas sapi justru perlahan memudar karena banyak sapi betina yang ikut dikorbankan, demi memenuhi kebutuhan masyarakat. Alih-alih ingin swasembada sapi, Indonesia justru semakin bergantung terhadap impor sapi.

Presiden Joko Widodo menginginkan Indonesia bisa swasembada sapi pada sembilan hingga 10 tahun ke depan.  Sejumlah skema telah dilakukan untuk meningkatkan populasi sapi. Inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik dengan memasukkan sperma dari sapi pejantan unggulan ke sapi betina lokal telah lama diterapkan. Cara ini dianggap efektif meningkatkan jumlah sapi dalam waktu singkat. Peternak tidak perlu lagi mencari bibit pejantan unggul apabila ingin mengembangkan ternaknya. Mereka cukup menghubungi petugas IB atau inseminator terdekat di wilayahnya untuk dilakukan inseminasi terhadap ternaknya.

Terbaru, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian mencoba membuat sebuah gebrakan untuk mewujudkan swasembada sapi. Skema mendatangkan sapi indukan pun dipilih sebagai jalan pintas lain yang diharapkan bisa segera mewujudkan ambisi tersebut.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku, telah berkoordinasi dengan sejumlah kementerian terkait untuk mengubah tata cara impor sapi. Sebelumnya, importasi sapi biasanya hanya dengan mendatangkan sapi bakalan atau sapi yang tinggal dibesarkan dalam kurun waktu tertentu, untuk kemudian disembelih. Kali ini, Kementerian Perdagangan mengharuskan ada impor sapi indukan dalam importasi sapi bakalan.

"Kita mau jalankan skema 1:5 untuk impor sapi. Ini untuk meningkatkan populasinya," kata Enggar, belum lama ini.

Dengan skema ini, perusahaan penggemukan sapi (feedloter) yang biasa mendatangkan impor sapi bakalan, diwajibkan mengimpor sapi indukan dengan perbandingan 1:5. Artinya, satu sapi indukan harus didatangkan jika feedloter ingin mengimpor lima ekor sapi bakalan.

Sebagai simulasi, jika feedloter mendatangkan sapi mencapai 50 ribu ekor, mereka juga harus mengimpor sapi indukan sebanyak 10 ribu ekor. Oleh karena itu, jumlah sapi yang didatangkan harus berjumlah 60 ribu ekor gabungan sapi bakalan dan indukan.

Melalui skema ini, Kemendag berharap dalam beberapa tahun ke depan atau kurang dari 10 tahun, Indonesia telah memiliki populasi sapi yang cukup. Hal tersebut dapat mengurangi jumlah impor yang sangat mendominasi kebutuhan pasar akan daging sapi.

Enggar menjelaskan, impor sapi indukan juga bisa memberikan keuntungan bagi perkembangan peternak sapi lokal. Sebab, Kemendag akan mendorong feedloter bisa bekerja sama dengan peternak dalam melakukan pembibitan. Feedloter bisa melakukan bagi hasil pembibitan dengan para peternak.

"Kami akan dorong peternak lokal untuk mengembangbiakkan sapi dari hasil impor sapi indukan," ujar Enggar.

Meski cara ini diprediksi baik untuk kebutuhan daging sapi jangka panjang, perubahan pola impor jatah kuota per kuartal menjadi kewajiban impor bakalan disebut merugikan pengimpor sapi. Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Joni Liano mengatakan, peraturan impor sapi indukan dengan rasio 1:5 belum bisa sepenuhnya dilakukan oleh feedloter. Sebab, feedloter selama ini hanya beternak untuk menggemukkan sapi, bukan mengembangbiakkan sapi.

Joni menerangkan, pengembangbiakkan sapi membutuhkan infrastruktur dan cara berbeda dengan penggemukan. Jika pengembangbiakkan harus diserahkan ke petani lokal sesuai keinginan Kemendag, cara ini pun akan menyulitkan. Sebab, sapi indukan yang didatangkan tidak mungkin disebar ke peternak, karena tak semua peternak sapi memiliki cara yang sama dalam melakukan pengembangbiakkan. Kesulitan peternak ini ditakutkan membuat sapi indukan, justru tidak bisa dikembangbiakkan dan menghasilkan sapi anakan.

Joni menuturkan, Gapuspindo berharap Kemendag masih memberlakukan sistem kuota impor yang telah berlaku beberapa tahun terakhir. Apalagi Gapuspindo pun telah mengajukan izin impor sapi, bulan lalu. "Sebenarnya, pernyataan dari Mendag ini seharusnya tidak dijalankan sekarang karena kami telah memiliki izin dari Kementerian Pertanian untuk melakukan impor," kata dia.

Gapuspindo telah memasukkan surat perizinan untuk izin impor kuartal III pada 26 September 2016 ke Kemendag. Surat ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.16 tahun 2016 tentang pemasukan ternak ruminansia besar ke dalam wilayah Republik Indonesia.

Berdasarkan surat rekomendasi dari Kementan, maka Kemendag sesuai dengan Permendag Nomor 05 tahun 2016 yang telah direvisi menjadi Permendag Nomor 59 tahun 2016, izin impor sapi bakalan seharusnya keluar tidak lebih dari dua hari setelah surat yang disertai rekomendasi Permentan masuk ke Kemendag. 

Namun, izin impor tetap tidak keluar karena Kemendag menghendaki adanya peraturan baru. Bahkan, dengan skema ini Kemendag telah mendapatkan sejumlah feedloter yang berkomitmen dan melakukan perjanjian di atas kertas untuk ikut mengimpor sapi indukan. Kemendag mengklaim, telah memberikan izin ekspor sapi bakalan dengan skema 1:5 kepada 32 perusahaan feedloter. Jumlah sapi indukan yang akan didatangkan pada akhir tahun 2016 mencapai 123.800 ekor.

Australia Siap Bantu

Program pengadaan sapi indukan memang bisa memberikan manfaat jangka panjang. Namun, yang jadi persoalan adalah keberadaan populasi sapi indukan dari negara asal. Seperti diketahui, impor sapi yang datang ke Indonesia merupakan sapi-sapi dari Australia. Ketika feedloter atau koperasi ingin mendatangkan sapi bakalan dari Australia, harus ada sapi indukan yang juga didatangkan.

Sebelumnya, banyak feedloter sulit menjalankan skema ini karena berdalih bahwa Australia sebagai pusat impor sapi tidak ingin melepas sapi indukan. Kalaupun dijual, harganya akan melambung tinggi karena penjualan tersebut bisa mengurangi populasi sapi di Australia.

Persoalan tersebut nampaknya mulai mendapat jalan terang. Asosiasi eksportir ternak Australia menyatakan siap melepas sapi indukan untuk dijual ke Indonesia.

Ketua Dewan Eksportir Ternak Australia (ALEC) Simon Caen mengatakan, pengusaha Australia tidak melihat adanya monopoli harga untuk sapi yang dijual ke Indonesia. Meski demikian, membuka keran impor baru ke negara lain memang baik untuk Pemerintah Indonesia. Ini penting dalam menjaga harga sapi yang masuk ke Indonesia.

Terkait dengan pengadaan impor sapi indukan, Simon menyampaikan, tidak melarang adanya ekspor sapi indukan selain sapi bakalan ke Indonesia.

Namun, Simon mengingatkan pemerintah Indonesia, terdapat perbedaan antara penggemukan dan mengindukkan sapi.  Pengembangbiakkan sapi membutuhkan lebih banyak biaya dibandingkan sekadar penggemukan.

"Saat penggemukan, sapi hanya perlu diberi makan dengan lahan yang tidak begitu luas. Sedangkan untuk sapi indukan, perusahaan penggemukan atau peternak wajib memiliki lahan luas, pakan yang banyak, dan tenaga kerja untuk mengurusi sapi tersebut," ujarnya.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong optimistis, keinginan pemerintah memperbanyak populasi sapi di Indonesia bisa berjalan baik. Apalagi, ada investor dari Australia yang berminat berinvestasi di bidang perkembangbiakan sapi. "Jadi, selain investasi akan meningkat, secara signifikan kita dapat mengurangi permasalahan stok daging sapi dalam negeri," ujar Thomas. rep: Debbie Sutrisno  ed: Satria Kartika Yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement