oleh: Nasuhi Masha -- Tahun 2014 adalah pemilu presiden terpanas dalam sejarah reformasi. Untuk kali pertama hanya ada dua kandidat yang maju. Faktor kedua adalah karena pengelompokan politik yang secara historis sering berhadapan. Ketiga, pembelahan para jenderal purnawirawan yang mirip dengan pembelahan di masa mereka masih aktif. Ini terutama terasa saat 1997-1999. Ada dendam lama yang terus terpelihara.
Faktor kedua dan faktor ketiga yang paling banyak menyumbang panasnya gesekan. Satu faktor saja bisa menimbulkan suasana panas, apalagi jika kedua faktor bekerja bersama-sama.
Pada sisi lain, seolah di negeri berpenduduk hampir 240 juta jiwa ini tak memiliki figur yang bisa menjadi katalisator. Sehingga, di saat tertentu akan bersuara dan membuat kita menarik diri masing-masing. Menyadari batas atau mengakui kekeliruan jalan.
Saat ini, seakan semua orang sudah ditarik pada pusaran yang sama. Seolah dua kandidat ini merupakan jalan keluar satu-satunya untuk memajukan Indonesia. Percayalah, Indonesia tetap tegak tanpa hadirnya dua kandidat ini. Kita harus punya "panggilan diri" bahwa cukup itu cukup. Apalagi kita mengakui bahwa dua kandidat ini plus-minus saja. Ada kelebihan, juga ada kekurangan. Dua kandidat ini tak memperlihatkan diri mereka sebagai meteor yang melejit sendiri.
Negative campaign dan black campaign yang digelorakan sudah masuk pada tahap yang memuakkan. Negative campaign dan black campaign jauh lebih dominan daripada membahas program dan harapan. Ini bisa dilihat dari berita di televisi, koran, online, dan juga media sosial.
Kita berharap program dan harapan menjadi warna diskursus bangsa ini. Jika program lebih banyak pada visi, maka harapan lebih masuk pada karakter dan potensi diri seorang kandidat. Dengan demikian, kita bisa yakin dan percaya terhadap masa depan Indonesia jika memilih kandidat tersebut.
Namun, tiap hari kita lebih banyak disuguhi isu-isu, wacana, dan berita yang buruk dari kedua belah pihak. Kita melihat solidaritas atas dasar sentimen sempit dan membangun kebencian (atas dasar sentimen agama, etnik, kelompok) lebih mengemuka daripada hal-hal objektif yang menjadi tujuan kita mendirikan Indonesia. Kita menghabiskan banyak waktu untuk hal-hal yang tak produktif.
Kita jadi teringat pada konstatasi Bung Hatta. Ketika pintu gerbang dibuka, ternyata yang muncul adalah orang-orang kerdil. Dan orang-orang besar ikut larut dalam arus orang-orang kerdil itu. Mereka pun hanya kerdil belaka. Menyedihkan.
Itulah yang sedang terjadi saat ini. Para peneliti, cendekiawan, akademisi, wartawan kehilangan pijakan. Mereka terjebak pada keharusan mendukung atau tak bisa lepas dari preferensi. Mereka berubah menjadi aktivis dan pegiat, bahkan politisi.
Bukankah kita menyaksikan bahwa para juru bicara terdepan di sekitar kandidat bukan lagi para politisi? Saat ini para politisi sedang tertawa menyaksikan orang-orang yang selama ini mengecamnya tak ubahnya politisi juga. Para cerdik pandai selalu memiliki alasan untuk membenarkan diri.
Mereka tak lagi berumah di awan. Mereka sibuk menjadi propagandis dan buzer daripada menjadi orang yang memiliki kesadaran tentang jati diri. Pemilihan presiden bukan akhir dan awal. Dia hanyalah alat, dia hanyalah antara.
Reformasi pada 1998 telah membuat kita menjadi orang-orang pragmatis, instrumentalis, dan bahkan hedonis. Gila harta dan kekuasaan. Perubahan yang cepat membuat kita oleng.
Emile Durkheim, sosiolog asal Prancis, menyebutnya sebagai kondisi anomali. Nilai-nilai baru belum solid, namun nilai-nilai lama sudah runtuh. Tiba-tiba kita menyaksikan para konglomerat baru, tiba-tiba kita menyaksikan meledaknya kelas menengah baru, tiba-tiba kita menyaksikan hadirnya elite-elite baru dalam politik. Kita juga tahu siapa mereka dulunya, kita juga tahu siapa mereka sebenarnya.
Namun, hukum besi sosial selalu tak bisa dilawan. Perubahan tak bisa ditepikan. Ia bisa hadir seketika seperti air bah atau dia hadir merayap bagai angin semilir yang menyelinap. Perubahan memang milik orang-orang yang bersiap diri. Apa pun perubahannya.
Revolusi-revolusi di Indonesia selalu saja bersifat spontan. Tak terencana, tak sistematis. Inilah yang dulu pernah diingatkan oleh Tan Malaka. Namun, menyesali bukanlah sikap satria. Yang paling utama adalah keharusan kita untuk menata ulang, dalam segala hal. Salah satu faktor yang membuat kita kacau adalah fragmentasi sosial dan fragmentasi politik kita yang tak pernah memunculkan mayoritas efektif.
Pada sisi lain, kita masih gagap dalam membangun kesamaan mimpi. Tiap-tiap kelompok punya mimpi masing-masing dan punya dasar masing-masing. Mereka berusaha saling menegasikan, saling meruntuhkan. Sehingga, hanya ada dua pilihan: kompromi tiada batas atau zero sum game.
Pada titik inilah kita butuh figur baru untuk menjadi Bapak Bangsa. Seperti Amerika Serikat melahirkan Abraham Lincoln. Dia bukan pendiri Amerika Serikat, namun Lincolnlah yang membuat negeri itu mengakhiri semua perbedaan dan membangun fondasi baru.
Jangan biarkan kita diadu domba oleh para predator dan kerakap yang hidupnya dari hasil adu domba. Bangsa ini memiliki banyak Dreyfus. Kita harus menemukannya dan menyadarkannya atau menyingkirkannya.