oleh:subroto -- Wali Kota Tri Rismaharini adalah orang yang gampang tersentuh. Tak tega ia melihat anak-anak hidup dalam keseharian di kompleks lokalisasi Gang Dolly. Lokalisasi bukanlah tempat yang sehat bagi anak-anak untuk tumbuh. Namun, yang terjadi di Dolly, bertahun-tahun anak-anak terpaksa melihat pemandangan yang seharusnya tak mereka lihat, mendengar percakapan-percakapan yang mestinya tak boleh mereka dengar.
Anak-anak tinggal di lokalisasi prostitusi sangat mungkin mengalami gangguan psikologis. Bisa jadi, mereka minder karena tempat tinggalnya adalah lokasi transaksi seks, bisa tak konsentrasi belajar karena berisik, mengakses konten pornografi, sampai minum-minuman keras. Yang paling parah tentu saja melakukan hubungan seks saat usia masih belia dan menjadi pelacur anak.
Bahkan, Risma mendapati kenyataan bahwa pelacur Dolly ada yang masih berusia sekolah SMP dan SMA. Dia juga mendengar cerita di Dolly tentang anak -anak yang berhubungan seks dengan nenek-nenek pelacur.
"Saya tidak tega," ucap Risma sambil mengusap air matanya dalam tayangan di sebuah stasiun televisi beberapa waktu lalu.
Sebagai seorang ibu, Risma tentu tak mau membiarkan itu terus terjadi. Dolly harus ditutup. Anak-anak harus diberikan haknya untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sosial yang sehat. Anak-anak di Dolly mempunyai hak yang sama dengan anak di tempat lain.
Hari ini dan hari-hari selanjutnya adalah pertaruhan perjuangan perlindungan anak di Dolly. Pemkot Surabaya sudah memberi deadline akan menutup Dolly hari ini (18/6). Jika Risma dan Pemkot Surabaya berhasil menghentikan operasi bisnis seks di Dolly, artinya puluhan bahkan ratusan anak-anak bakal terselamatkan dari dampak buruk prostitusi. Sebaliknya, jika para penentang berhasil mengadang rencana Risma, artinya nasib anak-anak tetap tak akan berubah.
Anak-anak Dolly pun sudah menyatakan ketidaksetujuannya soal keberadaan lokalisasi. Hasil survei oleh tim Ikatan Dai Lokalisasi (IDIAL) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur periode Desember 2013-Januari 2014 mencatat 100 persen anak-anak yang hidup di lingkungan lokalisasi Dolly-Jarak setuju tempat itu ditutup.
Anak-anak yang menjadi responden mengaku merasa terganggu dengan aktivitas prostitusi. Misalnya, mereka sering melihat para pelacur berpakaian seronok, berciuman dan mabuk, suara dentuman musik saat istirahat dan belajar, serta pertengkaran dan penggunaan kata-kata kotor. Anak-anak merasa risih dan terganggu.
Risma memang tak sendiri. Ada banyak orang di belakangnya yang masih punya nurani untuk mau memikirkan nasib anak-anak dan tergerak untuk menyelamatkan anak-anak di Dolly. Namun, para penentangnya juga tak kalah ramai, baik dari dalam maupun dari luar Dolly. Mulai dari para pelacur, muncikari, pekerja kafe, sampai Wakil Wali Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana.
Saya ingin mengetuk hati para penentang penutupan Dolly. Bukankah Anda juga bapak-bapak yang mempunyai anak, atau ibu-ibu yang juga punya putra dan putri? Tegakah Anda membiarkan anak-anak terus tumbuh dalam lingkungan seperti itu?
Atau para penentang dari luar Dolly, tidakkah Anda juga mempunyai anak-anak, kemenakan, atau saudara yang masih kanak-kanak? Bisakah Anda membayangkan bagaimana jika anak, kemenakan, atau saudara Anda yang masih belia hidup dalam kompleks lokalisasi itu?
Terlalu mahal mengorbankan masa depan anak-anak demi mempertahankan bisnis esek-esek. Karena itu, marilah bergabung dengan Risma demi masa depan yang lebih baik bagi anak-anak di Dolly.