Rabu 01 Oct 2014 13:00 WIB
Sudut Pandang

Dilema DPR Transisi

Red:

Oleh:Beberapa hari terakhir kita dipertontonkan oleh hiruk-pikuk anggota dewan di DPR. Ruang rapat paripurna yang biasanya terlihat kursi kosong, tiba-tiba hampir terisi penuh. Mereka terlihat sibuk di pengujung masa jabatannya.

Para wakil rakyat itu seperti kejar target untuk memenuhi tenggat waktu sejumlah rancangan undang-undang yang belum disahkan. Menjelang berakhirnya masa jabatan pada 1 Oktober 2014, DPR dinilai belum memenuhi target-target yang ditetapkan. Sebanyak 42 rancangan undang-undang (RUU) masih belum disahkan DPR. Di hari-hari terakhir itu, DPR hanya menyelesaikan undang-undang yang dianggap mendesak namun dicurigai hanya untuk kepentingan partai politik ketimbang kepentingan rakyat. 

Produk legislasi yang dihasilkan di tengah transisi kekuasaan terkesan mengabaikan kualitas. Para anggota dewan seperti mengalami dilema antara mewakili kepentingan partai politik atau mewakili rakyat.

Setidaknya ada tiga RUU yang telah disahkan menjadi undang-undang yang mengesankan hal itu. Yakni, Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD  (MD3); Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda); dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pembahasan ketiga UU tersebut  tampak anggota DPR terbelah menjadi dua kubu pascapemilihan presiden, yakni kubu Koalisi Merah Putih dan kubu koalisi partai pendukung presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang terdiri atas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hanura.

Dua kubu tersebut seperti membabi buta dalam pengambilan keputusan. Dalam pengambilan keputusan yang penting beda dengan kubu lainnya. Keduanya mengaku mewakili rakyat namun tidak konsisten dalam mewakili rakyat. Sehingga, produk undang-undang yang dihasilkan justru bertentangan dengan undang-undang lainnya.

Misalnya, dalam pembahasan RUU Pilkada dan RUU Pemda. PDIP dan PKB menolak keras pengesahan RUU Pilkada, yang intinya menolak pilkada lewat DPRD. Tapi di sisi lain, PDIP dan PKB yang menghapus pasal yang melarang rangkap jabatan kepala daerah di RUU Pemda. Sehingga, sulit untuk melihat mana dari kedua kubu tersebut yang benar-benar konsisten mewakili suara rakyat. Pertentangan kubu Koalisi Merah Putih dan Koalisi Jokowi-JK terkesan hanya mewakili kepentingan partai politik saja. Lebih mengedepankan ego kelompok dan gengsi untuk mengakui keunggulan gagasan kelompok lain. Kondisi ini diperparah oleh drama politik yang hanya mementingkan pencitraan semata di hadapan rakyat.

Sekat-sekat kelompok di DPR semakin kentara, sehingga produk undang-undang yang dihasilkan lebih menonjolkan kepentingan segolongan fraksi  ketimbang keputusan DPR secara keseluruhan. Wakil rakyat secara individu akhirnya tidak bisa memutuskan pilihannya sesuai dengan kehendak rakyat. Apa yang dikehendaki dan diinstruksikan oleh partai politik itu yang keputusan yang dipilihnya. Kendati sulit untuk satu suara, namun paling tidak keputusan dan argumentasi mereka dalam pengambilan keputusan harusnya bisa beragam, tidak dibatasi oleh sekat-sekat fraksi.

DPR tidak seharmonis Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Seperti yang diklaim oleh almarhum Taufiq Kiemas bahwa MPR di bawah kepemimpinannya tidak terbelah oleh sekat-sekat fraksi. "Yang ada hanya fraksi MPR," ujarnya.

Kita berharap, DPR yang baru dilantik bisa membedakan fungsi dan kewajibannya antara petugas partai dan wakil rakyat. Ke depan adalah DPR yang betul-betul memikirkan rakyat bukan DPR yang mementingkan kelompok dan golongan saja.

Oleh: Muhammad Fakhruddin

Twitter @penareal2001

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement