Begitu berat nestapa ini, ya Robb!
Ini neraka di dunia, ya Tuhanku, neraka dunia. Entah bagaimana pula neraka di akhirat kelak.
Neraka yang kekal, ya Tuhan?
"Ini, hamba masih akan mencoretkan asma-Mu, ya Allah."
"Hamba tidak akan pernah melupakan-Mu."
"Hamba yakin, ini semua karena kesalahan hamba, karena dosa hamba…."
"Namun, hamba mohon, ya Robb, ampunilah hamba…." "Jangan tinggalkan hamba, ya Tuhan, jangan pernah tinggalkan hamba…."
Airmata Fatin mengalir deras, membasahi pipi-pipinya yang biru lebam, luka gigitan dan tamparan keras bertubi-tubi, ulah sadis si jahanam.
Rasanya ia ingin mati saja seketika!
Ingin raib, menghilang tanpa jejak!
Agar tiada seorang pun mengetahui keberadaannya, deritanya, nista dan aibnya.
Agar tiada seorang pun mencemooh, menistakan dan melecehkannya begini rupa. Tidak, tidak seorang pun lagi!
"Apakah aku masih pantas hidup, ya Tuhan?" bisiknya pedih perih.
"Aku pantas mati!"
"Aku telah melupakan orangtua, adik-adik…."
"Aku telah lama tidak berkirim kabar kepada mereka…."
"Ya, aku memang pantas dihukum!"
"Jadi, aku pantas mati!"
Perang batin serasa kian bergolak, bergemuruh dan bergelombang dalam dadanya.
Menghajar seluruh sisa kemanusiaan yang dimilikinya.
"Ya Tuhan, silakan cabutlah nyawaku yang tak berguna ini," rintihnya di penghujung ketakberdayaannya.
Tiba-tiba sayup semayup kupingnya menangkap rintihan.
Kemudian seruan-seruan lemah. "Mama, Mama…."
Ya, itu rintihan dan seruan si kecil yang dikurung di kamar mandi.
"Ridho, anakku, anakku, anakku!" seru Fatin meracau. Seruan si kecil dalam sedetik telah membangkitkan sisa-sisa tenaganya, dalam sekejap membangun kembali repihan semangat yang tercabik-cabik dan tercecer.
"Ridho, Ridho, ini Mama, Sayangku, Cintaku…." Ia memanggil-manggil nama anaknya semata wayang, terhuyung- huyung, berusaha keras melangkah menuju kamar mandi yang terletak di luar kamar.
"Mama, Mama, sini Mama.."
Fatin membuka ruang dingin di sebelah kamar itu, maka tampaklah pemandangan yang sangat memilukan. Balita umur dua tahun meringkuk di sudut kamar mandi, kakinya diikat ke wastafel, berkubang kencing dan kotoran.
"Allahu Akbaaar!" seru Fatin tertahan.
Ia seperti membebaskan seekor kelinci kecil tak berdaya yang habis diteror pemburu liar.
(Bersambung)