Rabu 10 Sep 2014 13:00 WIB

Agar Lahan Pertanian tidak Beralih Fungsi

Red:

Terbatasnya lahan bagi perumahan tapak dan tingginya permintaan perumahan bagi penduduk telah mendorong terjadinya praktik alih fungsi lahan. Khususnya, lahan pertanian menjadi kawasan perumahan.

Hal ini, menurut dosen Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Ambo Ala, memiliki dampak positif dan negatif sekaligus. Dampak positifnya, kebutuhan perumahan jelas membutuhkan lahan untuk pembangunannya. Dengan alih fungsi lahan ini maka kebutuhan lahan perumahan tetap tersedia. Sedangkan dampak negatifnya, yaitu semakin berkurangnya lahan pertanian untuk menopang pangan.

Menurut Ambo, banyaknya praktik alih fungsi lahan ini sangat tergantung pada penambahan jumlah penduduk yang akan membuat kebutuhan rumah meningkat. Selain itu, alih fungsi lahan banyak terjadi karena harga lahan untuk lahan pertanian jauh lebih murah dibanding nonpertanian, khususnya untuk perumahan. Meski, kebutuhan pangan dan perumahan sama-sama penting bagi masyarakat Indonesia. Sebagai contoh satu hektare lahan pertanian bisa jadi harganya hanya Rp 1 miliar, namun ketika pengembang masuk dan mengonversi lahan menjadi perumaham, Rp 1 miliar hanya bisa membeli 1 kaveling tanah.

Iming-iming harga tanah yang mahal tersebut ikut mempercepat alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dan lainnya. Akibatnya, setiap tahun Indonesia harus kehilangan sekitar 1.400 hektare lahan pertanian yang beralih fungsi. Kerugian dari alih fungsi tersebut diperkirakan mencapai Rp 7 triliun. Padahal, pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Langan Berkelanjutaan. Namun, UU ini agaknya kurang ditaati sehingga alih fungsi lahan semakin marak.

Dalam UU Nomor 41 tahun 2009 tersebut diamanatkan dalam pasal 18 tentang penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LPPB), yaitu kawasan pertanian pangan berkelanjutan diatur dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Selanjutnya, dalam pasal 44 diterangkan soal alih fungsi lahan.  aitu, lahan yang sudah ditetapkan sebagai LPPB dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. Kalaupun dialihfungsikan, LPPB dapat dialihfungsikan untuk kepentingan umum. Itu pun dengan syarat harus melalui kajian kelayakan strategis, disusun rencana alih fungsi, dibebaskan dari pemilik, dan disediakan lahan pengganti.

Menurut Ambo Ala, untuk menekan alih fungsi lahan, pemerintah seharusnya konsisten menjalankan UU No 41 Tahun 2009. Pemerintah juga harus membuat sistem pewarisan lahan untuk melindungi degradasi kepemilikan lahan. Seperti yang diterapkan di Korea Selatan. Di Negeri Ginseng tersebut setiap pemilik lahan yang akan menjual tanahnya maka pemerintah menampungnya sebagai aset penjualan lahan pertanian.

Jadi, meski lahan berpindah kepemilikan, tidak terjadi alih fungsi lahan. Dengan sistem tersebut, pemerintah secara otomatis memiliki bank tanah. Dengan bank tanah ini, kenaikan harga tanah dapat diintervensi sehingga harga properti juga ikut stabil.

RTRW merata

Persoalan alih fungsi lahan, menurut Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Banten, Soelaeman Soemawinata, tidak semata-mata tanggung jawab pengembang. Pasalnya, pengembang tidak dapat membangun proyek perumahan tanpa adanya izin dari pemerintah daerah. Alih fungsi lahan ini selalu mengikuti perkembangan wilayah. Jadi, alih fungsi lahan sebenarnya dilakukan pemerintah untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menunjang pengembangan kawasannya. "Pemerintah mengeluarkan izin pembangunan perumahan karena membutuhkan PAD untuk pembangunan daerahnya," kata Soelaeman.

Harusnya pemerintah menegaskan komitmennya dalam RTRW yang dibuat secara merata. Dengan hanya memfokuskan pembangunan pada wilayah tertentu maka ada kesenjangan akibat perkembangan daerah yang tak merata. Akibatnya, daerah yang perkembangannya pesat akan lebih cepat terjadi alih fungsi lahan dan miskin kawasan pertanian. Sebaliknya, di wilayah tertentu justru menjadi tidak berkembang.

Deputi bidang Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat, Sri Hartoyo, mengungkapkan alih fungsi lahan hanya terjadi di wilayah perkotaan. Sedangkan di wilayah kabupaten alih fungsi lahan bukan terjadi di lahan pertanian, melainkan di lahan nonagraris.

Menurut Sri, persoalan perumahan paling krusial terjadi di perkotaan. Sebab, dengan semakin menipisnya lahan membuat suplai perumahan di perkotaan menjadi berkurang. Inilah yang menjadi penyebab backlog paling besar di Indonesia.

Solusinya, pemerintah mendorong pembangunan rumah susun untuk mengejar backlog perumahan ini sekaligus menekan alih fungsi lahan. Pasalnya, semakin banyak rumah tapak yang dibangun, semakin besar juga kebutuhan lahannya. Padahal, lahan di perkotaan semakin sedikit dan mahal. "Pemenuhan kebutuhan rumah di perkotaan rumusnya adalah vertical. Kalau tidak, kota pasti menjadi melebar," ujarnya di Jakarta.  rep:agus rahardjo ed: hiru muhammad

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement