JAKARTA -- Asuransi syariah menyambut baik rancangan undang-undang (RUU) Perasuransian yang salah satu isinya mendorong unit usaha syariah (UUS) supaya bisa memisahkan diri (spin off) dari induknya.
Direktur Operasional Asuransi Jiwa Syariah Al Amin, Ronny Abril, mengatakan, ketika UUS resmi spin off dan berdiri sendiri maka sangat lebih baik. Ini karena kalau asuransi syariah masih dalam bentuk UUS dan bergabung dengan induknya maka terjadi percampuran antara dana halal dan haram.
"Artinya, kalau UUS masih bergabung dengan UUS maka akan dipertanyakan apakah dananya sesuai syariat Islam atau tidak. Padahal, di asuransi syariah jelas menerapkan aturan seperti tidak boleh adanya investasi yang mengandung riba," katanya kepada Republika, di Jakarta, Rabu (17/9).
Belum lagi kekhawatiran kalau pemilik perusahaan asuransi itu berbeda akidah, sehingga kebijakan-kebijakan perusahaan memungkinkan membuat percampuran dana sangat mungkin terjadi. Padahal, kata dia, mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Hal tersebut di atas bisa menimbulkan keragu-raguan.
"Untuk itu ketika UUS berhasil spin off, masyarakat menjadi tidak ragu dalam bermuamalah dan kemudian menggunakan jasa asuransi syariah," ujarnya.
Mengenai poin isi RUU mengenai UUS bisa spin off tiga tahun setelah resmi diundang-undangkan, pihaknya menilai aturan itu cukup baik. Alasannya, asuransi syariah harus memiliki berbagai persiapan untuk bisa berdiri sendiri. Mulai dari strategi, sumber daya manusia (SDM), pasar, hingga jaringan kantor. Persiapan-persiapan itu diakuinya membutuhkan waktu lebih dari setahun.
Sementara itu, terkait poin ketentuan UUS bisa spin off apabila aset atau dana investasi peserta mencapai 50 persen dari total dana investasi dipandangnya relatif. Artinya, dilihat dari sudut pandang yang mana. Tetapi, pihaknya menilai, aturan itu cukup baik.
Dia menambahkan, kecukupan aset dan modal sangat penting karena asuransi sebagai salah satu lembaga keuangan non-bank (LKNB) memiliki tugas menghimpun dana masyarakat. Untuk itu, pihaknya yakin, regulator yang membuat RUU itu sudah memperhitungkan berbagai aspek untuk mengembangkan asuransi syariah melalui RUU ini.
"Nah, jangan sampai asuransi syariah menghimpun dana masyarakat yang jumlahnya lebih besar daripada aset yang dimiliki. Nanti bagaimana menjamin risikonya," ujarnya.
Apalagi, kata dia, asuransi syariah sifatnya hanya pengawalan, bukan transfer risiko. Artinya, asuransi syariah tidak boleh menggunakan premi milik nasabahnya untuk membesarkan usahanya, termasuk untuk membuka kantor cabang. Berbeda dengan asuransi konvensional yang menggunakan dana premi milik nasabah untuk mengembangkan perusahaan, Ronny menyebutkan bahwa asuransi syariah hanya bisa menerima upah jasa dari nasabahnya.
"Untuk itu, asuransi syariah butuh kecukupan modal untuk bisa membuka cabang, mengembangkan SDM tanpa menggunakan premi nasabahnya," ujarnya.
Jika jumlah aset dan investasi mencukupi atau lebih dari 50 persen, kata dia, asuransi syariah mampu mencairkan klaim yang diajukan nasabahnya. Terlebih selama ini, diakuinya masyarakat masih apriori pada asuransi karena takut klaimnya tidak dicairkan. Tak heran kesadaran masyarakat untuk ikut asuransi masih rendah.
Jadi, pihaknya menilai rancangan isi aturan itu wajar dan pemerintah cukup pintar ketika membuat aturan ini. "Ini karena modal, aset memang jadi jaminan terhadap kemampuan membayar klaim," katanya.
Sekarang tinggal bagaimana komitmen perusahaan induk asuransi tersebut, apakah mau mengembangkan UUS-nya atau tidak. Dia menegaskan bahwa dibutuhkan komitmen induk untuk mengembangkan UUS, termasuk menambah aset dan investasi. Kalau memang berniat mengembangkan dan mendorong UUS untuk spin off, perusahaan induk pasti tidak keberatan memberikan suntikan modal atau aset.
Chief Syariah and Corporate Communication Allianz Life Syariah Kiswati Soeryoko juga menyambut baik upaya RUU perasuransian. rep:laeny sulistyawati ed: irwan kelana