Jumat 05 Sep 2014 12:00 WIB

Bulan Madu TNI dan Presiden

Red:

Oleh: Selamat Ginting(Wartawan Republika) -- Bulan madu tampaknya akan terjadi antara TNI dan Presiden Abdurrahman Wahid. Hal itu terjadi saat Gus Dur, panggilan akrab sang presiden, mengumumkan susunan kabinetnya. Dalam kabinet yang diberi nama Kabinet Persatuan Nasional (KPN), enam perwira tinggi didaulat menjadi menteri atau pejabat setingkat menteri.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Rob Griffith/EPA

Keenam jenderal itu adalah: Jenderal Wiranto (Akmil 1968) sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam), Letnan Jenderal (Purn) Suryadi Sudirdja (Akmil 1962) sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (Akmil 1973) sebagai Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben), Letnan Jenderal Agum Gumelar (Akmil 1968) sebagai Menteri Transportasi, Laksamana Muda Freddy Numberi (AAL 1971) sebagai Menteri Negara Reformasi Administrasi, dan Laksamana Widodo AS (AAL 1968) sebagai Panglima TNI.

Sementara, jabatan Menteri Pertahanan yang pada era presiden Soeharto dan presiden BJ Habibie dijabat oleh militer, kali ini dipercayakan kepada sipil. Juwono Sudarsono yang sebelumnya Wakil Gubernur Lemhannas, menjadi Menhan. Kabinet yang dibentuk pada pertengahan Oktober 1999 itu ternyata tidak sampai seumur jagung. Hanya dalam tempo satu bulan, yakni 26 November 1999, Hamzah Haz mengundurkan diri dan digantikan oleh Basri Hasanuddin sebagai Menko Kesra dan Pengentasan Kemiskinan.

Mengejutkan karena Hamzah Haz adalah politikus senior dan ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dan, penggantinya pun bukan berasal dari PPP. Artinya, wakil dari partai Islam itu terpental dalam kabinet. Padahal, Hamzah merupakan pendukung Gus Dur yang tergabung dalam Poros Tengah ketika berhadapan dengan Megawati Soekarnoputri saat pemilihan presiden dalam Sidang Umum MPR 1999.

Satu bulan kemudian, tepatnya pada 4 Januari 2000, giliran Ali Rahman mengundurkan diri sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg). Ia digantikan oleh Bondan Gunawan. Bondan dikenal sebagai karib Gus Dur dalam Forum Demokrasi. Sampai di sini, publik dibuat terkejut, termasuk partai politik. Sementara, kubu militer tak bereaksi sama sekali karena yang diganti adalah menteri yang berasal dari kalangan partai politik dan kalangan sipil. Posisi militer masih aman.

Namun, sebulan kemudian, Februari 2000, Mabes TNI Cilangkap terkejut. Jenderal Wiranto dipecat Presiden Gus Dur. Sebagai penggantinya adalah Letjen (Purn) Suryadi Sudirdja, yang merangkap jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Suryadi memang lebih senior daripada Wiranto. 

Semua tidak menyangka, hanya dalam tempo sekitar enam bulan, terjadi pergantian tiga menteri. Presiden Gus Dur pun mulai dikritik karena terlalu cepat merombak kabinet. Bahkan, dia dianggap terlalu berani memecat Wiranto, mantan panglima ABRI. Bagi sebagian kalangan militer, Gus Dur mengabaikan kehormatan seorang jenderal.

"Bagi tentara, kehormatan itu segala-galanya. Harta boleh habis, tetapi kehormatan tidak boleh habis," kata Letjen (Purn) Suyono, mantan kasum TNI dan Sekjen Dephan, menanggapi pemecatan Wiranto oleh Gus Dur.

Proses pencopotan Wiranto itu berasal dari hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Desember 1999. Menyangkut penyelidikan tentang pembumihangusan Dili dan kota-kota lain di Timor Timur, setelah pihak prointegrasi Indonesia kalah dalam jajak pendapat pada pertengahan 1999.

Dalam penyelidikan pada Desember 1999 itu ditemukan dokumen yang menyebutkan sejumlah jenderal turut bertanggung jawab dalam pembumihangusan tersebut. Salah satunya muncul nama Jenderal Wiranto. Saat kejadian, bekas ajudan presiden Soeharto itu menduduki posisi panglima ABRI merangkap sebagai Menteri Pertahanan era Presiden BJ Habibie.

Saat melakukan kunjungan ke Davos, Swiss, di depan wartawan, Presiden Gus Dur membuat pernyataan mengejutkan. "Saya akan memanggilnya dan mengatakan padanya bahwa Anda terlibat (dalam kasus bumi hangus Kota Dili dan sekitarnya). Untuk menyelamatkan lembaga TNI, Anda harus mundur!"

Bahkan, pernyataan senada terus dikumandangkan secara terbuka oleh Gus Dur di hampir setiap kota yang disinggahinya di Eropa dan Asia. Presiden Gus Dur terus meminta Wiranto mundur. Jika Wiranto tidak bersedia, akan dipecat.

   

Setibanya di Tanah Air, Gus Dur pun tanpa ampun memecat Wiranto. Di sinilah bulan madu antara Gus Dur dan militer berakhir. Begitu cepat, hanya enam bulan saja bulan madu itu berlangsung. Pemecatan Wiranto dianggap sebagai kemenangan Gus Dur atas militer. Apalagi, tidak ada reaksi sama sekali dari para jenderal aktif di Mabes maupun yang di kabinet.

Militer yang selama ini dianggap digdaya pada era Orde Baru, takluk di tangan presiden. Dari sinilah awal drama politik Gus Dur mengerdilkan serdadu. 

Politikus dipecat

Saat publik masih ramai membicarakan pemecatan Jenderal Wiranto, Gus Dur kembali membuat kejutan. Pada 24 April 2000, Jusuf Kalla (JK), politikus Partai Golkar, dan Laksamana Sukardi dari PDIP dipecat dari kabinet. JK digantikan oleh Letjen Luhut Panjaitan (Akmil 1970) dan Laksamana digantikan Rozi Munir. 

Sebulan kemudian, pada 29 Mei 2000, giliran Bondan Gunawan yang baru bertugas selama empat bulan sebagai Mensesneg, dipaksa mengundurkan diri dari kabinet. Dia digantikan oleh Djohan Effendi.

Setelah agak tenang selama tiga bulan, pada 10 Agustus 2000, Kwik Kian Gie mengundurkan diri dari posisi Menko Ekuin. PDIP yang menyokong Kwik tak menyangka dengan pengunduran diri tersebut. Setelah pengunduran diri Kwik Kian Gie, Presiden Gus Dur secara resmi merombak kabinetnya.

Pada 23 Agustus 2000, Gus Dur mengumumkan perubahan susunan kabinet. Beberapa nama baru masuk dan beberapa kementerian digabungkan. Kalangan TNI masih bisa bernapas lega karena lima perwira tingginya masih dipercaya menduduki kursi di kabinet. Bulan madu kedua tampaknya akan terjadi antara Presiden Gus Dur dan TNI.

 

Kelima jenderal yang masuk kabinet sebagai berikut: Menko Polkam Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Mendagri dan Otonomi Daerah Jenderal (Purn) Suryadi Sudirja, Menteri Transportasi dan Komunikasi Jenderal (Purn) Agum Gumelar, Menteri Industri dan Perdagangan Jenderal (Purn) Luhut Panjaitan, dan Panglima TNI Laksamana Widodo AS. Yang terpental hanya Laksamana Madya Freddy Numberi dari posisi sebagai Menteri Negara  Reformasi Administrasi. Freddy dianggap tidak bisa menerjemahkan keinginan Gus Dur. TNI AL kecewa dengan terpentalnya Freddy yang juga wakil dari Provinsi Papua.

Kabinet hasil reshuffle pertama ini pun tidak bertahan lama. Pada 3 Januari 2001, Ryass Rasyid mengundurkan diri sebagai Menteri Negara Reformasi Administrasi. Posisinya tidak digantikan siapa pun. Sebulan kemudian, 7 Februari 2001, giliran Yusril Ihza Mahendra yang mengundurkan diri sebagai Menteri Hukum dan HAM. Yusril digantikan Baharuddin Lopa. Kasus Yusril pun kemudian membuat kalangan partai pendukung Gus Dur kecewa.

Apalagi, Yusril adalah pendiri dan ketua umum Partai Bulan Bintang. Artinya, sudah dua petinggi partai berbasis massa Islam disingkirkan dari kabinet Gus Dur. Sebelumnya adalah Hamzah Haz. 

Sebulan kemudian, 15 Maret 2001, giliran Nurmahmudi Ismail dari Partai Keadilan (PK), kini menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dipecat dari kursi Menteri Muda Kehutanan. Ia digantikan oleh Marzuki Usman. Dengan demikian, tiga partai berbasis massa Islam tersingkir. Gus Dur seperti membuat front terbuka, membunyikan terompet perang kepada partai-partai politik, yakni PPP, PDIP, Golkar, PBB, dan PK. 

Pada 1 Juni 2001, Gus Dur kembali mengocok ulang kabinetnya menyusul konflik politik yang semakin keras dengan lawan-lawannya di parlemen. Kali ini, TNI pun harus kehilangan putra terbaiknya. SBY dipecat dari kursi Menko Polkam. Ia digantikan Agum Gumelar. SBY dianggap tidak mendukung sejumlah kebijakan saat melawan 'musuh-musuh' Gus Dur di parlemen. Lalu, Budi Mulyawan ditunjuk sebagai Menteri Transportasi dan Komunikasi yang ditinggalkan Agum.

Jaksa Agung Marzuki Darusman pun digantikan dengan Baharuddin Lopa. Sementara, Marsillam Simanjuntak ditunjuk sebagai Menteri Hukum dan HAM. Sarwono Kusumaatmaja digantikan Rohmin Dauri sebagai Menteri Negara Kelautan dan Perikanan. Adapun Posisi Menteri Muda Restrukturisasi Ekonomi Nasional dibubuarkan.

Hanya bertahan kurang dari dua minggu, pada 12 Juni 2001 Gus Dur kembali mengumumkan perubahan kabinet lagi. Kali ini, Rizal Ramli menggantikan Prijadi Prapto Suhardjo sebagai Menteri Keuangan. Adapun Burhanuddin Abdullah masuk kabinet menempati posisi Menko Ekuin yang ditinggalkan Rizal.

Anwar Supriyadi ditunjuk sebagai Menteri Negara Reformasi Administrasi. Menyusul perubahan ketiga ini, pada 5 Juli 2001, Marzuki Darusman ditunjuk sebagai Sekretaris Kabinet. Lima hari kemudian, pada 10 Juli 2001, Gus Dur mengumumkan kocok ulang keempat setelah Baharuddin Lopa meninggal dunia.

Sebagai pengganti Lopa, Gus Dur menunjuk Marsillam Simanjuntak. Adapun Mahfud MD yang sebelumnya menjadi Menhan ditunjuk sebagai Menteri Hukum dan HAM. Sementara, Agum memegang dua posisi penting, Menko Polkam dan Menteri Pertahanan. Kurang dari dua minggu setelah itu, Gus Dur benar-benar jatuh. Kelompok yang hampir dua tahun sebelumnya mendukungnya, termasuk militer, berbalik arah. Bahkan seperti peristiwa 17 Oktober 1952, moncong meriam dan tank serta panser diarahkan ke Istana Presiden dengan dalih apel siaga konsolidasi TNI.

Sebuah perlawanan terselubung TNI di lapangan, setelah sebelumnya anggota Fraksi TNI/Polri di parlemen pun tidak lagi mendukung Presiden Gus Dur dalam panitia-panitia khusus yang menyelidiki keterlibatan Presiden Gus Dur dalam kasus ‘Buloggate’ dan ‘Bruneigate’. Berakhirlah era Gus Dur di Istana Kepresidenan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement