Oleh: Rakhmat Hadi Sucipto -- Siang begitu terik. Terlihat hamparan sawah yang luas masih menghijau. Tampak beberapa petani sedang membersihkan rumput dari sela-sela tanaman padi dengan alat sederhana. Mereka berjalan pelan sambil mendorong sebuah alat penggilas rumput. Hati-hati benar mereka membenamkan dan mematikan rumput agar tanaman padi mereka tak ikut terlibas.
Di tempat lain, tampak seorang pemuda sedang berusaha keras menyalakan pompa air di tengah sawah. Beberapa kali dia menarik tali penggerak mesin, tetapi tak mau hidup juga. Setelah memegang beberapa bagian mesin, lalu berusaha menariknya kembali, bunyi keras muncul dari mesin tersebut.
Foto:M Agung Rajasa/Antara
Air pun perlahan keluar dari lubang pompa. Namun, lama-kelamaan air keluar dengan deras. Dia mengusap mukanya dengan air yang keluar dari ujung pipa mesin pompa setelah mencuci kaki dan tangannya.
"Lagi mompa air, Mas!" kata pria tadi. "Buat nyiramin tanaman ini."
"Panas banget. Masuk yuk ke gubuk ini," ajak pria tersebut. "Saya Aziz, Mas!" kata pria tadi memperkenalkan diri. "Lagi cari apa, Mas ke sawah panas-panas gini?"
Aziz harus rajin memompa air karena areal persawahannya tak bisa mendapatkan air dari pengairan. Jalan satu-satunya agar tanaman tetap hidup adalah dengan memompa air di lahan sawahnya.
"Di sini masih enak. Air gampang dipompa. Keluarnya juga banyak," timpal Karsa, teman Azis, yang sedang asyik menumis tempe dicampur kangkung untuk makan siang bersama.
Karsa rupanya tak mampu menahan gerah yang menyengat hingga ke dalam gubuk. Dia pun memasak tanpa mengenakan baju atau kaus, hanya memakai celana jins belel yang sudah dipotong setengahnya.
"Semua kerja bergantian. Saya hari ini memasak, besok yang lain. Mungkin berikutnya saya yang akan menyedot air dan mengatur aliran air," kata Markono, petani lain yang sedang santai sambil merokok.
Azis dan kawan-kawannya bukan asli Tegal. Mereka dari Brebes sengaja mencari lahan di tempat lain agar bisa terus bertanam.
Lahan ibarat nyawa bagi petani. Mereka tak harus punya, tetapi yang penting ada!
Memiliki lahan tak menjamin mereka bisa bercocok tanam. Banyak lahan sekarang kekeringan, termasuk di wilayah Kabupaten Brebes, Tegal, dan Cirebon.
Jalan satu-satunya agar hidup terus berlanjut, petani harus berburu lahan. "Di manapun yang penting bisa dipakai untuk bertanam," ujar Samudin, yang sedari tadi tidur-tiduran karena kelelahan.
Mereka semua petani asal Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes. Sudah sebulan lebih mereka meninggalkan istri dan anak karena harus bertani di Desa Slarang Kidul, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal. Banyak lahan di tempat mereka mengalami kekeringan cukup parah sampai-sampai dipompa pun air tak mau keluar.
Kini, Samudin sedang bertanam bawang merah. Dia pun harus rela tidur di tengah sawah.
Bersama empat orang temannya, Samudin membangun rumah bedeng berukuran 4 x 4 meter persegi. Atapnya cukup dari plastik, sedangkan dinding dari anyaman bambu. Mereka berlima rela tidur berimpitan.
"Kalau lagi angin kencang, ya kita kedinginan. Kalau lagi panas, ya seperti ini, Mas!" ujar Azis, anggota rombongan yang paling muda.
Untuk menghilangkan penat dan kejenuhan, mereka membawa televisi berukuran 21 inci. TV tua itu sudah tak lagi memancarkan gambar yang sempurna. Di beberapa titik warna gambar yang muncul sudah memudar.
Mereka sudah terbiasa hidup berpindah-pindah mencari lahan garapan. Dulu mereka juga pernah ke daerah Weleri, Kabupaten Kendal. Tentu, cukup jauh dari Brebes karena harus melewati Kabupaten Tegal, Pemalang, Pekalongan, dan Batang. Bahkan, mereka juga pernah ke daerah Banyumas, wilayah selatan Jawa Tengah.
Petani dari Brebes bahkan sampai harus lari ke beberapa daerah di Jawa Barat, termasuk ke Tasikmalaya. Ke luar Jawa pun mereka kejar. "Saya juga diajak ke Palembang, tetapi malas. Terlalu jauh. Di sini juga masih banyak yang bisa digarap," ujar Roni, rekan Samudin, yang mengaku sedari kecil sudah terbiasa di sawah.
Lahan menjadi masalah di Indonesia. Kebanyakan petani di Indonesia hanya mempunyai lahan yang sempit, rata-rata hanya 0,3 hektare. Dengan luas yang sangat sempit tersebut, mustahil mereka bisa mengandalkan hidup yang layak dari bertani.
Bagi yang memiliki modal, mereka akan menambah lahan garapan dengan menyewa atau memanfaatkan lahan gadai. Akan tetapi, terkadang mereka sulit mencari lahan sewa. Kalau dapat lahan sewa pun, belum tentu pemilik lahan mau memperpanjang sewa lagi.
Padahal, urusan petani tak hanya lahan. Mereka sudah menghadapi masalah sejak pergi dari rumah sampai ketika mereka sudah memetik hasil panen. Sulit bagi mereka menciptakan kehidupan yang makin layak. Berat bagi mereka menciptakan generasi penerus yang lebih bagus.