REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA--Orde Baru adalah bagian dari garis waktu sejarah perjalanan Indonesia. Reza sekadar merepresentasi kembali konsep kuasa Orde Baru sekaligus memvisualkan hal-hal yang identik dengan masa pemerintahan Presiden Soeharto itu.
"Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku," suara lan tang seorang pria menyanyikan lagu "Indonesia Raya", menyambut pengunjung festival OK.Video yang dihe - lat ruang rupa di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pa - da 15-28 Juni 2015.
Pria itu tak ada di sana sesungguhnya. Ia hadir dalam bentuk video yang diputar ber ulang pada televisi, terus- menerus mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia dan sejumlah lagu nasional lainnya.
Suaranya tidak merdu, ekspresinya dalam layar kaca datar hampir mengundang tawa. Namun, ada yang tersimpan di sana. Ada sesuatu yang membuat pengunjung berkerut dahi dan menyimak, tak berlalu begitu saja.
Di belakang televisi itu, sebuah kain terbentang. Menampakkan gambar kolase berbagai ilustrasi. Tank militer, gedung-gedung pencakar langit, rumah di bantaran kali, pesawat militer, terasering, jembatan, tentara militer, satelit, dan lain-lain.
Karya Reza `Asung' Afisina dari Indonesia tersebut berjudul "The ... is One of the Great Stabilizing Elements in So - ciety". Melalui instalasi video dan cetak digital di atas kain, Reza menunjukkan wujud responsnya terhadap tema utama "Orde Baru" yang diusung OK.Video.
Apa pun kelebihan dan kekurangannya, Orde Baru adalah bagian dari garis waktu sejarah perjalanan Indonesia. Reza sekadar merepresentasi kembali kon sep kuasa Orde Baru sekaligus mem - visualkan hal-hal yang identik dengan masa pemerintahan Presiden Soeharto itu.
"Mencoba membicarakan isu stabil- itas nasional yang selalu dijadikan dasar sikap Orde Baru untuk membungkam per bedaan pendapat," katanya.
Pada masa tersebut, metode utama menjaga stabilitas nasional itu ialah penguasaan media massa yang menjadi ciri Orba. Mereka yang lahir dan besar pada rezim itu pasti tak awam dengan TVRI dan RRI.
Salah satu acara hiburan yang sangat dinantikan adalah sandiwara radio "Saur Sepuh". Karya asli almarhum Niki Kosasih yang mengudara sejak 1980-an di Radio Republik Indonesiaitu memu - kau jutaan pendengar di nusantara.
Kelompok seniman Jakarta Wasted Artists memodifikasi perjalanan Brama Kumbara yang dahulu dituturkan dalam format audio itu menjadi sebuah karya remix. Hauritsa, Henry Foundation, Mateus Bondan, dan Mushowir Bing mengekstrak dan memberikan tambahan visual sehingga "Saur Sepuh" menjadi tayangan video eksklusif yang bisa disaksikan pengunjung.
Duo seniman lain, Ika Vantiani dan Feranis dari Indonesia, memunculkan memori kolektif mengenai filateli. Tiga seri kolase digital yang mereka usung berjudul "Salam Tempel Penuh Embel- Embel".
Mereka memaknai ulang koleksi benda pos bekas yang ada pada masa Orba. Ika dan Feranis menampilkan prangko bertuliskan Gerakan Nasional Gemar Berkirim Surel 1995, prangko Pelita V Sumber Daya Mesin, dan prangko Rp 60 bertuliskan 20 Tahun Gerakan Keluarga Berantakan.
"Ternyata, pemerintah Orba jauh lebih jeli dan bersemangat dalam memasukkan agenda-agenda program pemerintah ke dalam berbagai bentuk materi benda pos," tutur mereka.
Rentang waktu 1966 hingga 1998 itu memang telah berlalu. Namun, organisasi seni rupa kontemporer ruang rupa ingin melihat kembali jejaknya dengan mengambil tema Orde Baru dalam festival seni media internasional dua tahunan yang telah mereka helat pertama kalinya sejak 2003.
Hal itu disampaikan Direktur Artistik sekaligus kurator pameran OK.Video, Mahardika Yudha. Diharapkan, lahir sebuah perspektif baru untuk melihat kembali sejarah Indonesia pada masa Orba yang mungkin sebagian masih samar hingga saat ini.
Disampaikan Mahardika, tema yang mereka angkat bermaksud membenturkan dua hal. Bagaimana politik teknologi media (analog) begitu dikuasai rezim otoriter negara dalam membangun persepsi publik serta bagaimana politik teknologi media (analog) dikuasai warga yang mengawali kebangkitan demokrasi.
"Beragam versi arsip sejarah yang dulu banyak tersimpan kini terbuka dan dapat diakses sehingga dapat dimaknai ulang oleh masyarakat dunia," ujar pria yang juga menjadi kurator OK.Video Flesh pada 2011 itu.
Dalam festival OK.Video 2015, ruang rupa memamerkan 68 kar ya dari 73 seniman yang berasal dari 21 negara. NMereka mengekspresikan gagasan mela lui video, film, pertunjukan, karya instalasi multi- kanal, seni bebu nyian, dan rekayasa di gital. Festival berskala internasional itu juga dira- maikan dengan sejumlah lokakarya, sim- posium, diskusi, dan pertunjukan multime- dia. c34, ed: Dewi Mardiani
SARAT PROPAGANDA
Masih ada yang terselubung dari Orde Baru. Banyak tanya yang tersisa selama 32 tahun masa pemerintahan Presiden Soeharto itu. Salah satunya, proses transisi yang mengawali rezim yang mengedepankan pembangunan tersebut. Kisah legendaris Supersemar yang sangat krusial, Surat Perintah 11 Maret 1966.
Versi resmi pemerintah yang kala itu berkuasa, Sukarno menandatangani Supersemar dan mendelegasikan kekuasaan pada Soeharto. Surat darurat itu terbit usai tragedi berdarah G-30-S/PKI.
Banyak pihak menyangsikannya kini karena ketiadaan bukti. Versi lain mengungkap, transisi kuasa itu semata konspirasi. Barangkali tak ada yang sungguh tahu apa yang terjadi kala itu.
Menanggapi ricuh sejarah itu, Mella Jaarsma bersuara lewat karyanya. Seniman dari Indonesia yang berpartisipasi dalam festival seni media internasional Orde Baru OK.Video tersebut menampilkan instalasi dua kanal dan kulit buaya berjudul "Lubang Buaya".
Seniman Indonesia itu tak bermaksud menganalisis, apalagi menghakimi. Mella hanya menunjukkan tidak adanya kepastian pandangan akan sejarah mengenai "Lubang Buaya" yang berkaitan pula dengan peristiwa Supersemar yang mengawal Orba.
Dua kanal video Mella masing-masing memvisualkan lelaki yang berbaring telungkup di belakang tengkorak buaya. Punggung mereka dikerok hingga semerah darah, sementara kepala si buaya dibebat ikat pinggang.
Dua headphonememperdengarkan jawaban-jawaban yang ia kumpulkan. Sebagian orang yang ia wawancarai menganggap itu tragedi. Sebagian lain menganggapnya sejarah yang diputarbalikkan dan dikemas dalam propaganda.
Tidak sedikit yang mengaku tidak tahu. Ada yang mengira Lubang Buaya adalah penjara, sekadar galian kuburan, atau lu bang misterius yang menganga. Seseorang bahkan memberikan jawaban nyeleneh, dengan yakin ia berujar bahwa lu bang buaya berkonotasi pada sesuatu yang saru.
"Saya mewawancarai kurang lebih 30 orang dari berbagai generasi dan latar belakang tentang arti Lubang Buaya. Tanggapan mereka menunjukkan betapa tidak jelasnya bayangan mengenai insiden dramatis tersebut sampai hari ini," tutur Mella.
Propaganda mengenai perempuan pada masa Orba juga tak luput dari perhatian para seniman. Marishka Sukarna menunjukkannya lewat instalasi video dan objek bertajuk "Housewifi".
Sebuah rumah boneka bercat putih terpajang di sudut. Melalui jendelanya, pengunjung bisa mengintip video yang dItayangkan pada tablet di lantai dua miniatur rumah itu.
Ibu yang memasak, ibu yang berkebun, ibu yang menjahit. Ibu yang mengangkat senjata, tetapi tertutup oleh bebungaan, menggambarkan posisi perempuan di lingkup domestik.
Menurut Marishka, sosok Bapak Pembangunan telah mengharuskan kaum perempuan, para ibu dan istri, ikut mengabdi pada pembangunan. Namun, semua itu bertumpu pada paham paternalistik dan memosisikan laki-laki sebagai elemen inti dari negara.
"Pemerintah Orba mengembangkan kebijakan depolitisasi sistematis peran dan posisi perempuan Indonesia. Perempuan cukup sebagai elemen sekunder, namun mendukung kebijakan negara secara total," kata Marishka mengkritik. c34, ed: Dewi Mardiani