Rabu 29 Jun 2016 17:00 WIB

TB Haeru Rahayu: CFIRST Jadikan Ikan Lele Tak Menjijikkan

Red:

Ikan lele dikenal memiliki citra yang tidak baik. Sebab, ikan ini hidup dalam air yang tidak bersih. Apakah benar seperti itu? Pakar perikanan, Tubagus Haeru Rahayu, menjelaskan tentang budi daya ikan lele dengan panjang lebar. Berikut petikan wawancara pewarta Republika, Erdy Nasrul, dengan mantan ketua Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Kampus Karangantu Banten itu di Jakarta, pekan lalu.

Mengapa menyukai budi daya ikan lele?

Saya melihat ikan lele menyehatkan. Ka lau kita makan ikan di pinggir jalan, pasti ikan lele yang siap dimasak masih dalam ke adaan hidup. Kemudian, dibersihkan. Lalu, dimasak. Coba perhatikan, makan di mana yang ikannya masih hidup dengan harga murah? Hanya ada di pecel lele.

Kalau berkantong tebal, tentu bisa me nikmati ikan yang masih hidup, seperti di restoran mewah yang ada di Ibu Kota. Na mun, masyarakat menengah belum tentu bisa menikmati itu. Mereka bisa menikmati ikan yang segar di tenda-tenda pecel lele tadi. Ikannya masih hidup. Ketika ada yang me mesan, ikan langsung diambil dalam keadaan hidup, lalu dimasak.

Sayangnya, ikan lele ini saya lihat citranya tidak baik. Ikan ini disebut menjijikkan. Hi dupnya di air yang sudah kotor, hijau, dan yang belum tentu bisa ditempati ikan lain. Ma kannya pun sesuatu yang menjijikkan.

Kita sekarang ini membuktikan tidak seperti itu. Catfish farming in recirculation system tank (CFIRST) menjadikan ikan lele tak jorok. Ikan lele akan tumbuh dengan baik apa bila dibudidayakan dengan teknologi per ikanan. Lele juga diberi pakan yang bergizi se hingga dapat memiliki daging yang enak dimakan. Hasilnya menguntungkan.

Ada yang mengatakan makan lele me nimbulkan penyakit?

Ini harus dibenarkan. Ikan lele itu me ngan dung protein yang baik. Yang menjadi masalah, minyak yang digunakan untuk meng goreng lele itu masih baik atau tidak. Ke banyakan minyaknya sudah tidak layak pa kai, tetapi masih saja digunakan memasak lele. Akibatnya, ikan lele menjadi tidak me nye hatkan.

Bagaimana bisa budi daya ikan lele menguntungkan?

Kita membudidayakan ikan lele dengan kepadatan yang tinggi. Wadah yang kecil kita manfaatkan untuk budi daya ikan lele dalam jumlah besar. Ini sangat memungkinkan ka rena ikan ini bisa hidup dalam kepadatan yang tinggi.

Bagaimana caranya?

Teknologinya bernama CFIRS. Pada mu lanya, kami belum begitu fokus mengem bangkan CFIRST karena ingin konsentrasi di budi daya udang skala mini empang plastik (busmatik). Namun, kami mencoba perlahan menerapkan CFIRST di balai budi daya ikan milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Karangantu, Banten.

Hasilnya memang berbeda dengan udang. Margin keuntungannya jauh diban ding kan udang. Budi daya menggunakan CFIRST banyak menelan biaya operasional. Ke untungan ikan lele per kilogram dengan menggunakan CFIRST paling hanya Rp 2.000-Rp 3.000. Sedangkan, udang keun tung annya per kilogram mencapai Rp 20 ribu lebih. Ini yang mengakibatkan CFIRST tidak be gitu populer.

Namun, harus diingat, CFIRST meng hasilkan keuntungan kecil yang berkesinam bungan. Jadi, jangan berpikiran ingin meraih keuntungan besar, tetapi setelah itu tak ada keuntungan lagi.

Sudah ada yang menerapkan di In do nesia?

Sekarang ini sudah mulai banyak masya rakat yang melirik CFIRST. Sistem resirkulasi menjadi alternatif. Pembudi daya ikan tidak harus menyedot air terus-mene rus. Dengan sistem resirkulasi, pembudi daya da pat memanfaatkan air yang ada untuk di proses secara kimiawi agar dapat terus men jadi tem pat hidup ikan. Di sini, kita me manfaatkan teknologi menjadikan air selalu layak untuk tempat ikan berkembang.

Bedanya dengan budi daya tradisio nal?

Kalau budi daya tradisional masih meng anggap air berlimpah sehingga mereka eng gan menerapkan sistem resirkulasi. Re sirkulasi dianggap menghabiskan biaya operasional yang tinggi. Listriknya harus se lalu ada. Kalau listrik mati, harus meng gu nakan genset. Tujuannya untuk memutar air.

Saya tidak menafikan itu. Memang biaya operasional besar. Tapi, ingat, suatu hari nanti, air akan semakin terbatas seiring de ngan pembangunan infrastruktur yang tak bisa dihentikan. Nah, pada saat itu, sistem resirkulasi akan menjadi alternatif budi daya ikan.

Kalau budi daya tradisional itu memak simalkan lahan yang ada. Empang ikan di buat dengan ukuran besar. Ini menjadi ma salah. Mereka belum mengoptimalkan aspek ekonomi budi daya lele.

Hasil panennya, per meter persegi mak simal 50-75 kilogram. Meskipun sudah dika sih pakan banyak, hasilnya tetap segitu. Ini disebabkan oleh ikan jenuh. Air yang menjadi tempat mereka hidup diganti karena sudah kotor. Ikan akhirnya harus beradaptasi lagi. Mereka stres sehingga tidak mau makan.

Bagaimana dengan CFIRST?

Kalau CFIRST, tak perlu mengganti air. Cukup dengan air yang ada, ikan sudah bisa hidup. Ikan nyaman. Metabolismenya bagus. Pakan yang diberikan menjadi daging. Ha silnya menjadi baik.

CFIRST tempatnya terbatas. Kontrolnya baik. Semuanya mendapat makan yang sa ma. Tumbuhnya bersama-sama. Kalau meng gunakan sistem tradisional, kita tak me ngetahui ikan yang dipojok sana sudah makan atau belum. Akhirnya, pertumbuhan ikan lele tidak merata. Ada yang kecil. Ada juga yang sudah besar.

Harus diingat juga, ikan lele itu kanibal. Dia bisa memakan sesama jika pertum buh an nya tidak merata.

Bagaimana bisa CFIRST mengun tung kan?

Kita mencoba mengombinasikan aspek ekonomi, lingkungan, dan kemudahan. Kami sudah membuktikan CFIRST jauh lebih menguntungkan dibandingkan budi daya tradisional. Biasanya, dalam satu kubik air, ha nya menghasilkan 50-70 kg ikan lele. Se dangkan, CFIRST menghasilkan minimal 250 kg. Sekarang, bahkan sudah dikem bang kan menjadi 300-400 kg.

Yang jadi masalah, sekarang ini tidak se mua orang mengetahui detail tentang resir kulasi. Kalau datang ke pameran perikanan, Anda akan banyak ditunjukkan resirkulasi. Airnya sekadar diputar, kemudian disaring. Tidak sesederhana itu. Kuncinya ada di re aktor biologis untuk membuat air layak menjadi tempat hidup ikan.

Seberapa besar ukuran reaktor ini?

Ya bergantung dengan seberapa besar hasil yang diinginkan. Ada hitungannya. Jika ingin memanen hingga 400 kilogram ikan lele, reaktor biologinya harus mampu me nam pung ratusan ribu bakteri pemakan nitrat.

Banyak masyarakat yang meniru cara ini, tetapi belum sempurna. Ini karena pandang an masyarakat terhadap ikan lele masih tidak baik. Lele masih dianggap ikan yang tidak bersih. Padahal, CFIRST membuktikan tidak seperti itu. Sistem ini tidak mengakibatkan bau busuk karena resirkulasi memakan bak teri yang menimbulkan bau busuk tadi.

Bagaimana kinerja CFIRST?

Air di dalam kolam dialirkan ke saluran pembuangan. Di saluran ini, sebagian kotor an ikan akan tertinggal. Air dibuang ke wa dah penampungan khusus. Di wadah ini, ko toran ikan akan menggumpal di bagian ba wah. Air yang di bagian atas adalah yang kan dungan kotorannya sedikit. Air ini disedot ke reaktor.

Reaktor ini berisikan bakteri pemakan ni trat. Tepung ikan atau pelet dan kotoran ikan itu kalau didiamkan akan menjadi bak teri nitrat. Nah, di reaktor ini, air me ngandung nitrat tadi diproses sehingga kan dungan nitratnya berkurang. Air tersebut ke mudian dialirkan lagi ke kolam ikan. Cukup dengan kolam ikan seluas 1,5 x 2 meter dan kedalaman satu meter, ribuan ikan lele bisa hidup dengan nyaman dengan resirkulasi.

Bagaimana dengan pakan ikan lele?

Lele itu dikasih makan satu kilogram ma ka beratnya akan bertambah hingga satu kilogram daging. Bahkan, dengan pakan 0,9 kg bisa menghasilkan satu kg daging. Ikan ini bagus sekali.

Kalau dalam CFIRST, pakannya hanya pelet atau tepung ikan. Tidak boleh makan yang lain. Ini untuk menjaga kualitas air. Bagaimana ceritanya bisa me ngem bangkan CFIRST?

Sistem ini saya pelajari ketika belajar di Belgia sekitar 1997-1998. Belgia sudah meng gunakan resirkulasi karena air di sana sangat mahal. Kemudian, kalau membuang limbah, akan kena biaya mahal juga.

Sistem ini kemudian saya coba di Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Kampus Karangantu, Ban ten. Alhamdulillah berhasil. Saya berke ya kinan, Indonesia akan membutuhkan tek nologi ini. Sekarang ini, kita lihat air di Indo nesia sudah banyak yang tercemar karena lim bah plastik. Ini sudah menjadi tanda-tan da.

Di Indonesia, sudah ada yang mengem bang kan, yaitu di Lampung. Kalau lembaga pen didikan banyak, yaitu di Aceh, Tegal, Bone, Kupang, dan Papua. Hasilnya bagus. Sejumlah negara Eropa sudah mene rap kan CFIRST, seperti Belgia, Belanda, dan ba nyak lagi.

Orang Eropa mau makan ikan lele?

Jelas mau karena ikan ini sehat. Nah, bedanya, Eropa mengembangkan ikan lele bukan sekadar dipanen dalam ukuran standar. Mereka memanen ikan lele dalam ukuran besar, bisa sebesar paha orang de wasa. Dagingnya diambil untuk dijual dalam bentuk potongan atau filet. Ini banyak pe minatnya.

Mengapa ikan lele mereka bisa tum buh menjadi besar?

Mereka tidak banyak mencampur jenis lele. Bibit yang ada mereka kembangkan de ngan baik.

***

Pujian dari Mantan Menteri

Pakar perikanan Institut Pertanian Bogor, Prof Rokhmin Dahuri, mengapresiasi pengembangan teknologi perikanan yang dilakukan TB Haeru. "Apa yang ditemukan Pak TB ini bagus. Harus dikembangkan lebih lanjut agar bermanfaat bagi masyarakat luas," ujarnya dalam pertemuan sarjana oseanologi Indonesia di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, beberapa waktu lalu.

Penelitian dan pengembangan teknologi yang ditemukan TB Haeru, dinilainya, dapat diterapkan oleh nelayan Indonesia. Rokhmin tak menyangka, budi daya lele skala besar bisa dilakukan di lahan terbatas.

Hal ini merupakan inovasi yang harus dikembangkan. Sebab, lahan akan semakin sempit karena dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur. Budi daya ikan, menurutnya, harus selalu dilakukan meskipun di lahan yang sempit. "Saya berharap inovasi seperti ini selalu ada sehingga nelayan dan pembudi daya dapat semakin kreatif," ujarnya.

Masa tua

TB Haeru yang kini menjadi asisten deputi di Kemenko Maritim ini membayangkan masa tua nanti dilaluinya dengan budi daya ikan lele dan tambak udang dengan sistem busmatik. Setiap hari dia hanya memberi pakan untuk ikan lele dan udang yang dikembangkannya.

Jika sudah besar dan siap panen, dia akan mengerahkan pekerjanya untuk mengangkat ikan dan udang yang dipeliharanya. Kemudian, dijual ke pasar. Kalau dia bisa menghasilkan 3,2 ton lele dalam tiga bulan, setidaknya dia bisa mengantongi uang lebih dari Rp 20 juta. Itu didasarkan atas harga per kilogram ikan lele sekitar Rp 18 ribu. "Harga lele ada di kisaran Rp 17 ribu sampai Rp 19 ribu," ujarnya.

Itu belum termasuk penghasilan dari udang. Jika udang dalam kolam seluas 600 meter persegi panen, setidaknya dia sudah menghasilan satu ton udang. Keuntungannya mencapai ratusan juta rupiah. "Itu saja sudah cukup untuk hidup pada hari tua nanti," paparnya.   Oleh Erdy Nasrul

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement