Udara dingin langsung menyapa tubuh saya sesaat keluar dari Subway Line 4 di Stasiun Ansan. Perjalanan satu jam lebih dari Stasiun Dongdaemun, Seoul kawasan tempat saya menginap-- tidak begitu melelahkan. Maklum, saya melewatinya dengan terlelap sejenak sehingga mengabaikan keindahan pemandangan di balik jendela kaca Subway pagi itu.
Saya merapatkan sweater pemberian seorang mahasiswa Indonesia di Busan yang saya temui tanpa sengaja dalam perjalanan saat di kota itu. Rasa kasihan melihat tubuh ringkih ini hanya terselimuti jaket tipis membuat ia menghadiahkan sweater yang nyaman bagi saya.
Saya datang pada awal November ketika Korea Selatan memasuki musim gugur. Meskipun matahari bersinar terik, anginnya cukup membuat tangan membeku kedinginan. Saya jadi teringat ucapan seorang teman: Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dalam perjalanan.
Mata saya sejenak terpejam. Menghirup udara dingin. Menghentikan langkah. Menikmati suara riuh di sekitar Stasiun Ansan. Sebuah percakapan yang akrab membuat saya menyunggingkan senyum. Logat Jawa nan kental.
Tempat itu bernama Ansan
Terletak di Selatan Seoul, ibu kota Korea Selatan, Ansan adalah sebuah kota di Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan. Kota ini bukanlah termasuk tujuan wisata populer seperti Busan bagi pelancong ke negeri ginseng. Namun, ketenangan kota kecil ini mampu menjawab kerinduan akan rumah di sela-sela rasa lelah sepanjang perjalanan.
Rasa itulah yang membuat saya rela bangun pagi setelah lelah berjibaku di pusat perbelanjaan Myeongdong, Seoul, semalam sekadar ingin melakukan perjalanan ke Ansan. Semesta pun menyambut saya dengan sinar matahari yang cukup cerah.
Saya pun menelusuri lorong Stasiun Ansan yang sejenak mengingatkan saya pada kawasan Glodok dan Mangga Dua, Jakarta, dengan ragam pertokoannya. Beberapa tulisan dalam bahasa Indonesia berseliweran membuat saya tersenyum. Akhirnya, mata ini bisa terlepas juga dari huruf Hangul huruf Korea. Suara-suara dengan logat Jawa pun menghampiri telinga saya.
Kaki saya melangkah dengan semangat, melempar pandangan pada penjual sayuran dengan senyum terukir. Ahjumma (wanita yang jauh lebih tua --red) pun melempar senyum yang sama. Ah, bahasa senyum memang selalu menyenangkan!
Kaki saya terhenti pada segerombolan pemuda yang asyik bercengkerama.
Mas masjid di mana ya?
Mereka sejenak memandang saya. Salah satu dari mereka memberi arahan. Mbaknya menyeberang di bawah dulu. Nanti, jalan lurus belok kiri udah jalan aja terus.
Kira-kira sepuluh menitlah jalan, sahut lelaki yang satu lagi.
Saya mengangguk. Beberapa di antara mereka tersenyum menyadari ekspresi wajah saya mendengar jalan kaki selama sepuluh menit.
Tenang , Mbak. Nggak capek kok jalannya.
Saya nyengir. Kalau di negeri sendiri ini saya sudah memanggil abang ojek. Pikir saya. Saya pun mengucapkan terima kasih. Berjalan mengikuti arahan mereka. Lagi-lagi wajah saudara setanah air banyak saya temui sepanjang jalan. Saya menghela napas penuh kelegaan.
Ada ketenangan menyusup di dalam diri. Tak lagi khawatir soal bahasa dan tersesat.
Mereka benar bahwa saya tak akan lelah sepuluh menit berjalan kaki dari Stasiun Ansan ke masjid. Daun-daun yang berguguran di sepanjang jalan menyegarkan mata, pun pertokoan yang tertata rapi. Saya pun banyak menemui makanan khas Indonesia.
Kenyamanan di Masjid Ansan
Sebuah masjid berdiri kokoh di antara bangunan yang ada di kawasan Danwon-gu, Ansan. Shirotol Mustaqim, begitulah namanya. Ragu saya memasuki masjid. Seorang pemuda sedang berjalan memasuki area masjid. Saya ragu memilih bahasa yang digunakan. Refleks, saya mengeluarkan bahasa Indonesia. Ia pun menjawab dengan bahasa yang sama dengan lancar. Ia memberi arahan tentang tempat wudhu dan shalat khusus wanita yang terletak di lantai 3. Masjid ini cukup bersih dan nyaman.
Ansan adalah kota industri yang mendatangkan pekerja asing, termasuk Indonesia. Kota ini kerap dijadikan meeting point bagi imigran, salah satu lokasinya di masjid ini. Dari obrolan dengan salah satu pekerja yang berasal dari Malang yang sudah dua tahun berada di Korea Selatan, saya sedikit mendapat gambaran tentang masjid ini.
Lelaki yang sudah dua tahun di Korea Selatan itu menceritakan kepengurusan masjid tersebut bercampur dari berbagai negara. Ada pengurus berasal dari Pakistan, Bangladesh, dan Indonesia.
Namun, karena orang Indonesia suka ngumpul kali ya. Jadi, kadang memang yang lebih terlihat aktif orang Indonesia di sana, kata dia. Bahkan, untuk renovasi masjid ini banyak dibantu oleh sumbangan dari warga Indonesia yang bekerja di Korea Selatan.
Saya mengangguk menyimak omongannya. Menyadari beberapa tulisan di masjid menggunakan bahasa Indonesia termasuk terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia yang saya temui saat menunaikan sholat di sana. Saya pun menjumpai brosur informasi tentang paket menunaikan ibadah haji dalam bahasa Indonesia di pintu masuk masjid.
Dan, tempat ini menjadi tujuan bagi mereka yang ingin mencari makanan halal, kata si Mas tersebut.
Kehangatan di semangkuk bakso
Lupakan mi rebus instan dengan potongan cabai rawit di kala dingin merasuki tubuh. Ada yang tak kalah lezat yang membuat kita menelan ludah dan terkenang rasa kaldu kuah bakso di ujung lidah. Rasanya makanan inilah yang paling di rindukan selama berada di luar Indonesia.
Saya pun tak dapat menahan diri untuk memesan semangkuk bakso saat menemui warung bakso di dekat masjid. Mengabaikan harga yang cukup mahal jika dirupiahkan 8000 won. Di warung ini juga tersedia beberapa produk makanan khas Indonesia seperti teh dan mi instan.
Rusdi, sang pengelola pun bercerita warung bakso yang dikelolanya hasil kerja sama dengan warga Korea. Saya cerita ada nih usaha yang tidak repot, tidak butuh modal besar, dan sederhana tapi selalu dicari, yaitu bakso ujarnya saat mengajak si warga Korea. Warung bakso yang bernama Kangen Bakso ini pun merupakan warung bakso pertama di daerah Ansan.
Di tangan Rusdi, bakso dibuat dengan cita rasa yang tak kalah lezat dibandingkan bakso di Tanah Air. Dengan mengimpor daging dari Australia, ia pun memastikan kehalalan bahan bakso yang digunakannya.
Saya beruntung datang di Ahad siang, saat para pekerja imigran lagi menikmati liburannya. Dua orang wanita asal Surabaya yang sudah tinggal selama tiga tahun di Korea Selatan bercerita tentang pengalamannya di negeri semenanjung itu. Salah seorang dari mereka bercerita, meski tak tinggal di kawasan Ansan, ia kerap menghabiskan Ahad di kota ini sekadar melampiaskan kerinduan pada masakan Indonesia.
The Little Town Indonesia
Boleh Mbak sepatunya!
Saya terperanjat ketika melintasi pertokoan dengan tumpukan sepatu olahraga obralan. Sebuah sapaan membuat saya akhirnya menyungging senyum tipis. Mengelengkan kepala. Saya seperti terlempar dari negeri ginseng itu sejenak.
Tidak seperti beberapa pusat pertokoaan yang saya kunjungi, sepatu ini made in China. Tertulis dengan jelas di sebuah kertas yang terletak di antara tumpukan sepatu tersebut.
Pertama kalinya selama seminggu berada di negeri dongeng saya melihat produk selain made in Korea. Saya terkenang pada ucapan seorang pedagang pusat perbelanjaan Good Morning di Dongdaemun saat menawar belanjaan. Ini made in Korea bukan China.
Kaki saya melangkah memasuki kawasan yang tertulis kuliner internasional. Ansan memang terkenal dengan kawasan imigran asing melihat beberapa pabrik dan universitas yang berada di kota kecil ini.
Kita dapat menemui masakan Vietnam, Thailand, dan tentu saja Indonesia. Tapi, entah mengapa mata saya lebih banyak menangkap tulisan berbahasa Indonesia termasuk warung Indonesia.
Tak sekadar menjual ragam masakan tradisional khas Indonesia. Di kawasan ini juga mudah ditemui warung yang menjual produk Indonesia. Ketika saya kesulitan mencari money changer yang bersedia menerima rupiah selama berada di Seoul, di kota Ansanlah rupiah disambut dengan hangat. Ya, pada akhirnya rupiah saya diterima untuk ditukar dengan won.
Menikmati Ahad di daerah Ansan adalah agenda yang tepat saat menyinggahi Korea Selatan. Menemui Indonesia lewat wajah-wajah saudara setanah air yang sedang berjuang di negeri orang, menikmati ragam kuliner Indonesia yang menambah rasa syukur terlahir sebagai Indonesia. Saya seperti menemui pelukan ibu di kota Ansan. Dan, jika harus mengambil kesimpulan, saya menyebut daerah Ansan adalah The Little Town Indonesia-nya South Korea. Oleh Eka Herlina, ed: Nina Chairani