REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Presiden Barack Obama mengumumkan, Sabtu (26/3) bahwa Amerika Serikat tidak akan menurunkan pasukan darat di Libya. "Sebagaimana yang saya janjikan dari awal, peran pasukan AS terbatas. Kami tidak menurunkan pasukan darat ke Libya," kata Obama dalam pengumuman radio.
Utusan Rusia untuk NATO, Dmitry Rogozin, mengatakan sebelumnya pada Sabtu bahwa segala operasi militer darat negara asing di Libya akan dianggap sebagai penjajahan. "Melakukan operasi militer darat akan dianggap sebagai penjajahan Libya dan hal tersebut sangat bertentangan dengan resolusi yang dicanangkan oleh Dewan Keamanan PBB," kata Rogozin kepada RIA Novosti.
DK PBB memberlakukan zona larangan terbang atas Libya pada 17 Maret, juga mengizinkan "segala tindakan yang diperlukan" untuk melindungi warga sipil dari serangan pemimpin Libya, Muamar Gaddafi, di kota-kota yang dikuasai oleh pejuang.
Sejumlah operasi untuk menegakkan zona larangan terbang, bernama sandi "Odyssey Dawn", dilakukan bersama oleh 13 negara, di antaranya AS, Inggris dan Prancis.
Meski AS membantu dalam komando pertama untuk menerapkan zona larangan terbang tesebut, mereka mendapat tekanan agar tugas perintah dialihkan ke NATO.
"Misi militer kami di Libya jelas dan terfokus. Bersama dengan sekutu dan mitra, kami menerapkan mandat dari DK PBB. Kami melindungi rakyat Libya dari pasukan Qaddafi. Dan kami memberlakukan zona larangan terbang dan beberapa langkah lain untuk mencegah kekejaman lebih lanjut," kata Obama.
Pesawat perang Barat telah diterbangkan lebih dari 300 kemelut di atas negara Afrika Utara itu dan menembakkan 162 peluru kendali Tomahawk dalam misi bermandat PBB itu. Media negara Libya telah melaporkan bahwa puluhan orang telah terbunuh oleh serangan udara tersebut.