REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Minimnya realisasi produksi minyak (lifting) dibandingkan target semula dapat menurunkan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas. Namun, apresiasi rupiah yang demikian kuat selama kuartal pertama 2011 bisa menahan defisit pada tingkat yang terjaga.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, jika realisasi lifting rata-rata tahunan merosot 20 ribu barel dari target, keuangan negara tetap dalam kondisi surplus, karena ada faktor penguatan mata uang. Sepanjang kuartal pertama, rupiah menguat 3,2 persen dibandingkan nilai tukar rata-rata 2010 sebesar Rp 8.995 per dolar AS.
Pada Kamis (31/3), rupiah diperdagangkan di tingkat Rp 8.708 per dolar AS. Namun, karena ada pos dana pendidikan yang otomatis naik bila pengeluaran negara naik, maka neraca finalnya menjadi negatif. "Sekarang mungkin (defisit) ada di 1,82 persen, apalagi kalau exchange rate tambah kuat," kata Agus kepada wartawan di kantornya, Kamis (31/3).
Sementara pada APBN 2011, asumsi nilai tukar rupiah dipatok Rp 9.250 per dolar AS dengan defisit 1,8 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Sejauh ini, kata Agus, penerimaan negara sampai 15 Maret lalu dalam posisi yang bagus, terutama dari Pajak Penghasilan Nonmigas dan Bea Keluar (BK).
Sedangkan, harga komoditas ekspor seperti minyak sawit mentah dan batu bara yang meningkat telah mendongkrak pemasukan dari BK. "Sementara pengeluaran yang tidak seperti harapan itu belanja modal," ucapnya.