REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Che Guevara berhadap-hadapan dengan Benito Mussolini di Stadion Armando Picchi. Di belakang sosok sang tokoh, ribuan pendukung saling melontarkan makian.
Para pendukung Mussolini menyanyikan yel-yel anti-komunis. Sebaliknya para pendukung Che menghujat habis sosok pimpinan ultra-nasionalis Italia itu. Kejadian tersebut rutin terjadi dalam pertandingan Liga Italia antara Livorno berhadapan dengan Lazio.
Di saat 22 pemain bergelut di atas lapangan hijau, kedua pendukung saling bertarung ideologi politik dari atas tribun. Spanduk bergambar Che Guevara yang dibawa pendukung Livorno mewakili ideologi mereka yang menganut komunisme, sedangkan para pendukung Lazio yang fasis menjadikan Mussolini sebagai panutan utama.
Peristiwa di Liga Italia itu memberikan gambaran bahwa lapangan hijau memang tidak lepas dengan dunia politik. Lazio vs Livorno hanya salah satu contoh, bagaimana hubungan politik dan sepak bola. Hubungan yang secara alami terbangun atas warisan ideologis dan sejarah masing-masing pendukung.
Pun halnya faktor politik di belakang persaingan Barcelona-Real Madrid di Spanyol, Glasgow Rangers vs Glasgow Celtic di Skotlandia, Legia Warsawa vs Wisla Krakaow di Polandia, serta Partizan dan Red Star Blegrade di Serbia.
Rivalitas politik dalam persepak-bolaan di daratan Eropa agaknya memberi keuntungan terutama dari sisi persaingan kualitas. Bila Barcalona terus menerus menampilkan permainan yang membuat dunia terhenyak, Madrid tentunya tidak mau menelan malu dengan prestasi sang rival. Kekalahan di lapangan hijau menjadi pukulan telak bagi Madrid dalam rivalitas politik dengan Barca.
Alhasil, ideologi politik pun jadi “bumbu penyedap” dalam industri sepak bola. Bumbu yang membuat para pesepak bola terpacu. Bila politik jadi bumbu penyedap sepak bola di Eropa, di Indonesia politik justru jadi racun yang membuat sepak bola nasional mati suri. Celakanya bukan klub dan pendukung yang memainkan peranan dalam rivalitas tersebut, melainkan para pengurus sepak bola yang seharusnya jadi katalisator penyeimbang.
Kongres PSSI yang berlangsung 20 Mei ini tak pelak lebih menyerupai ajang Pilkda ketimbang kepala induk olah raga. Mau bukti? Marilah urai kandidat yang maju dalam persaingan menuju kursi PSSI.
Indra Mukhlis Adnan tercatat sebagai Ketua DPD Golkar Riau, Achsanul Qosasi (Anggota DPR dari Fraksi Demokrat), Agusman Effendi (Golkar), Adnan Dambesa (Nasional Demokrat), Wahidin Halim (Demokrat), Erwin Aksa (Golkar), Tahir Mahmud (Demokrat), Habil Marati (PPP), IGK Manila (Nasional Demokrat), serta sejumlah calon lain yang masih terkait dengan kekutan politik nasional.
Tak pelak kenyataan ini membuat sejumlah publik sepak bola gerah. Salah satu calon, Adhyaksa Dault, malah memilih mundur dari pencalonan. Dia beralasan kongres PSSI lebih kental unsur politiknya yang jauh dari sisi sportifitas.
Di saat para calon pemimpin adu sikut, pemain di lapangan dibuat bingung. Pemain kini dihadapkan pada kenyataan bahwa induk mereka akan kembali diisi orang-orang politik, ketimbang praktisi olah raga.
Kata-kata perubahan yang dilayangkan, tak lebih dari sekedar janji seorang politisi. Janji yang sudah sangat dimengerti para pesepak bola yang hanya rakyat jelata. Janji layaknya angin surga di sebuah Pilkada
Harapan melihat perubahan PSSI dengan kongres politik ini hanya sekedar omong kosong. Para calon tak lebih merupakan suksesor seorang Nurdin Halid yang mewakili politisi di PSSI.
Para suksesor kini siap bartarung untuk memastikan posisi. Pertarungan yang diprediksi akan berlangsung sengit. Bahkan lebih sengit jika dibanding perjuangan PSSI untuk meraih prestasi.
Racun pun harus kembali ditelan sepak bola nasional. Racun politik yang membuat sepak bola Indonesia mati suri, kering prestasi.