REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrat menilai perlu ada satu partai besar yang menjadi oposisi di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nanti. Tujuannya agar terjadi mekanisme pemeriksa dan penyeimbang terhadap berbagai langkah yang diambil pemerintah.
"Perlu oposisi. Kalau tidak ada oposisi dan semua masuk dalam parlemen, demokrasi-nya kurang ada check and balance," kata Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Alfian Mallarangeng dalam diskusi daring bertajuk 'Demokrasi Tanpa Oposisi' yang dipantau di Jakarta, Sabtu (4/5/2024).
Baca: Kontak Prabowo, PM Kanada Beri Selamat Kemenangan Pilpres 2024
Meski begitu, menurut Andi, Demokrat menyerahkan kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto terkait partai mana yang akan diajak bergabung ke pemerintahan. Prabowo telah melakukan komunikasi secara langsung dengan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Namun, terdapat sinyal bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan turut diajak Prabowo ke pemerintahan. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan masih terbagi suaranya akan menjadi oposisi atau bergabung ke pemerintahan.
Andi menjelaskan, terdapat kebutuhan untuk menambah koalisi pemerintahan lantaran berdasarkan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, empat partai politik parlemen di Koalisi Indonesia Maju (KIM) baru mendapatkan 40 persen suara. KIM terdiri Partai Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN.
Baca: Menhan Prabowo Hingga Ustadz Adi Hidayat Hadiri HUT ke-72 Kopassus
Menurut Andi, penambahan satu partai politik ke pemerintahan sebenarnya sudah cukup untuk mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Pasalnya, suara partai pemerintah di Senayan sudah bisa melebihi 50 persen suara.
"Tapi sekali lagi tergantung dari Pak Prabowo, apakah mau mengajak satu, dua, atau tiga partai parlemen. Tapi rasanya tidak usah empat-empatnya," ujar eks menteri pemuda dan olahraga tersebut.
Sebelumnya, peneliti senior dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Lili Romli mengatakan, PDIP dan PKS menjadi harapan terakhir untuk duduk di kursi oposisi. Menurut dia, kekuatan oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI masih tetap dibutuhkan secara signifikan.
Baca: SBY dan Prabowo, Penghuni Paviliun 5A Akmil yang Jadi Presiden
Hal itu agar ada kontrol serta pengawasan terhadap pemerintah. Jika tidak ada oposisi, menurut Lili, kebijakan yang dimunculkan cenderung merugikan rakyat seperti di era Orde Baru.
"Kalau semuanya masuk, ya wassalam, DPR betul-betul tidak memainkan peran," kata Lili dalam kegiatan webinar bertajuk 'Quo Vadis Demokrasi Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi' yang dipantau dari Jakarta, Senin (29/4/2024).