Jumat 03 Jun 2011 13:21 WIB

Kurator tak Seharusnya Tunduk Kepada Hakim Syarifudin

Rep: A. Syalaby Ichsan/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Penangkapan hakim pengawas perkara kepailitan, Syarifudin, dan kurator Puguh Wirawan oleh penyidik KPK, menjadi pertanyaan Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia, Ricardo Simanjuntak. Menurutnya, posisi kurator tidak seharusnya tunduk kepada hakim pengawas seperti Syarifudin.

Sebab, Ricardo mengungkapkan, hal itu diatur dalam Undang-Undang Kepailitan. Beleid tersebut, tuturnya, menyebutkan bahwa kurator bertanggung jawab secara pribadi kepada debitur jika pekerjaannya dalam mengidentifikasi budel pailit (harta pailit) dinilai merugikan. Bukan kepada hakim pengawas.

"Dalam pasal 16 disitu dia punya kewenangan penuh terhadap harta debitur pailit. Kalau pun ada hakim pengawasnya, dalam pasal 78, dia tidak total tunduk pada hakim itu," ungkap Ricardo saat dihubungi Republika, Jumat (3/6).

Ia pun mengaku heran atas praktik penyuapan yang diduga dilakukan oleh kurator Puguh Wirawan kepada hakim Syarifudin. "Itu yang saya tidak habis pikir," katanya menjelaskan.

Ricardo menjelaskan hakim pengawas merupakan hakim yang ditunjuk mengawasi para pihak setelah ada putusan pailit terhadap suatu perusahaan oleh pengadilan. Hakim tersebut, tuturnya, harus berbeda dengan hakim majelis. Tidak seperti hakim majelis, tuturnya, hakim pengawas tidak bisa memutus suatu perkara kepailitan.

Untuk kurator, Ricardo mengungkapkan diangkat oleh hakim majelis berbarengan dengan pengangkatan hakim pengawas setelah adanya putusan. Berdasarkan pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan, ungkapnya, kurator diangkat berdasarkan pengajuan dari pemohon.

"Walaupun berdasarkan pasal 71 pihak kreditur atau debitur bisa mengajukan kurator lain," katanya menegaskan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement