REPUBLIKA.CO.ID, BISHKEK - Pemberlakukan larangan mengenakan jilbab segera menjadi isu nasional di Kirgistan. Bahkan, isu ini segera merambat pada kampanye presiden. Pada level masyarakat, perdebatan berlangsung sengit.
Di kirgistan, pandangan ormas terhadap larangan jilbab terpecah. Kelompok sekuler berpandangan larangan jilbab merupakan upaya menjaga Kirgistan dari kelompok ekstrimis. Sebaliknya, kelompok agama, memandang larangan jilbab menafikan geliat syiar keagamaan di Kirgistan.
Pemimpin Organisasi Muslimah Kirgistan, Mutakallim, Jamal Frontbek Kyzy, mengaku pihaknya telah menerima ribuan keluhan orang tua sejak awal tahun ajaran baru. Menurutnya, pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Sains telah melanggar konstitusi nasional soal kekebasan beragama dan perlindungan terhadap diskriminasi.
"Pejabat Departemen berdalih, alasan larangan disebabkan jilbab bukan bagian dari seragam resmi sekolah umum untuk murid perempuan," kata Jamal.
Lantaran tak puas dengan sikap pemerintah, Mutakalim dan kelompok lain melakukan aksi protes. Aksi tersebut berbuah manis, Menteri Pendidikan Kanat Sadykov mengeluarkan konfirmasi tertulis soal tidak ada larangan jilbab.
Meski demikian, baik Mutakalim maupun kelompok lain tetap mengawasi pemerintah. "Kami akan mengawasi. Jika ada orang tua yang mengadu, maka kami akan melaksanakan aksi kembali," tegasnya.
Berbanding terbalik dengan Mutakalim, Sosiolog, Gulnara Ibraeva, menilai tindakan Mutakalim hanya mengancam kebebasan perempuan dalam masyarakat Kirgistan yang sekular.
"Tindakan itu sama saja merusak orientasi sekular Kirgistan. Itulah sebabnya, saya menyebut tindakan mereka ekstrim," papar Ibraeva.
Aktivis Kepemudaan, Chinara Seidahmatova menyatakan jilbab merupakan hal yang asing bagi masyarakat Kirgistan. "Perempuan Kirgistan tidak pernah mengenakan jilbab sampai mereka menikah. Sekarang, kita mendapati anak perempuan berusia delapan tahun mengenakan jilbab. Ini hanya kebodohan, bahkan boleh dibilang ketidaktahuan teologis," ungkapnya.
Peneliti, Kadyr Malikov menilai Islam merupakan gerakan baru di Kirgistan. Menurutnya, larangan jilbab membuktikan masyarakat Kirgistan terlihat bingung dengan identitasnya apakah sebagai sebuah negara sekuler atau negara Islam. "Itu masalahnya," ungkap Malikov.
Sekitar 75 persen dari 5,6 juta warga Kyrgyzstan merupakan Muslim. Seperti halnya negara Asia Tengah lainnya, seperti Azerbaijan, Kazakstan, dan Tajikistan, pemerintah Kirgistan khawatir perkembangan syiar Islam bakal berkembang mengarah ekstrimisme.