REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Universitas Indonesia Eep Syaifullah Fatah menilai pelaksanaan reshuffle dan pengangkatan wakil menteri tidak berorientasi kepada peningkatan kinerja. Melainkan berdasarkan kompromi politis, sehingga yang masuk kabinet tidak dilihat kelayakan dan kompetensinya.
Yang harus diapresiasi, kata dia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berusaha mengubah perimbangan orang partai dan nonpartai. Maka itu, dia mengeluarkan dua menteri dari unsur parpol, yaitu Darwin Zahedy Saleh dari menteri ESDM dan Suharna Supranata dari menteri Riset dan Teknologi (Menristek).
Presiden, kata dia, berusaha memasukan orang yang memiliki kredibilitas, seperti Dahlan Iskan yang menjabat menteri BUMN. Yang jadi masalah, birokrasi pemerintahan sekarang sangat gemuk.
Keberadaan wakil menteri di belasan kementerian tidak otomatis membuat kinerja pemerintah terjadi percepatan. Melainkan kemungkinan muncul kompleksitas hubungan menteri dengan wakilnya.
Hal itu lantaran ke depannya kepentingan politik lebih terlihat menonjol dalam kinerja kabinet. "Akselerasi kinerja pemerintahan belum tentu tercipta, tapi ketidaksinergian kepemimpinan dalam birokrasi sangat mungkin terjadi," kata Eep di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (19/10).
Eep menyarankan agar seharusnya Presiden sadar terhadap sikap pragmatisme kader parpol. Karena itu, pengurangan kader parpol tidak otomatis membuat kinerja kabinet menjadi lebih baik.
Malah muncul persoalan baru agar dengan birokrasi gemuk, SBY semakin mempercepat merealisasikan janjinya agar citranya semakin naik. "Kuncinya itu janji-janji kampanye diwujudkan. Letak persoalan itu di kepemimpinan, bukan menteri atau malah penambahan wakil menteri," kata Eep menandaskan.