REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI - Setelah 42 tahun memegang kemudi negara yang kaya minyak, Muammar Qaddafi, akhirnya menyerah pada kekuatan revolusi. Dia memenuhi janjinya, mempertahankan pemerintahannya hingga titik darah penghabisan. Qaddafi meninggal di kota kelahirannya, Sirte.
Pada bulan September 2004, George W Bush, presiden AS saat itu, secara resmi mengakhiri embargo perdagangan AS.Normalisasi hubungan dengan kekuatan Barat menyebabkan ekonomi Libya dan industri minyak pada khususnya diuntungkan.
Namun, Gaddafi dan Lockerbie kembali menjadi sorotan pada 2009, ketika al-Megrahi dibebaskan dari sebuah penjara Skotlandia atas dasar bahwa ia sakit parah dan hampir mati. Dia kembali ke Libya dan disambut bak eorang pahlawan, hal yang memicu kecaman AS dan Inggris.
Pada bulan September 2009, Qaddafi mengunjungi AS untuk hadir dalam sidang Majelis Umum PBB.
Pidatonya seharusnya berlangsung 15 menit, namun akhirnya berlangsung lebih dari satu jam. Perwakilan beberapa negara memilih walk out.
Ia merobek-robek salinan piagam PBB, menuduh Dewan Keamanan menjadi badan yang mirip teroris al-Qaeda, dan menuntut 7,7 triliun dolar AS sebagai kompensasi yang harus dibayar ke Afrika oleh para penguasa kolonial masa lalu.
Terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir, Libya mulai mengadakan protes terhadap rezim di kota timur Benghazi pada bulan Februari tahun ini.
Qaddafi menggunakan kekuatan militer untuk menumpas demonstrasi, protes meningkat menjadi konflik habis-habisan bersenjata, dengan intervensi pasukan pimpinan NATO.
Pada tanggal 27 Juni tindakan brutal dari pemerintah Libya dirujuk ke Mahkamah Pidana Internasional, yang mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Qaddafi, salah seorang putranya, dan kepala mata-matanya atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada tanggal 20 Oktober, seorang pejabat NTC melaporkan bahwa Gaddafi telah dibunuh di dekat Sirte setelah pejuang revolusioner menyerbu persembunyiannya.
Rekaman televisi menunjukkan, tubuhnya yang bersimbah darah diseret pemberontak.