REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyatakan ikut mendorong interpelasi untuk moratorium pemberian remisi bagi narapidana korupsi. Penegakan hukum dan pengetatan prosedur pemberian remisi harus dikedepankan, alih-alih mengambil jalan pintas dengan moratorium remisi.
"FPDIP mendukung interpelasi itu, karena ada beragam pelanggaran hukum dalam kebijakan moratorium remisi itu," kata Anggota Komisi III DPR dari FPDIP, Eva Kusuma Sundari, Senin (12/12).
Pertama, sebut dia, UU 12/2005 memberikan kewenangan kepada Kalapas untuk membolehkan atau melarang narapidana ke luar berdasarkan kebijakan Dirjen Lapas yang berdasarkan keputusan menteri.
Sementara, moratorium diberlakukan hanya berdasarkan telepon, pada 30 Oktober 2011. Keputusan menteri soal moratorium remisi narapidana korupsi baru terbit 31 Oktober 2011 dan efektif berlaku pada 16 November 2011.
"Sepanjang UU 12/2005 dan PP 28/2006 belum dicabut, hak remisi itu tak bisa dihilangkan dengan diskresi menteri," tegas Eva.
Apalagi, tambah Eva, pernyataan awal Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana adalah moratorium. Kebijakan itu pun sudah memakan korban 102 narapidana yang seharusnya bebas setelah memenuhi persyaratan.
"Kalaupun belakangan dibelokkan sebagai pengetatan, tetap ada pelanggaran hukum," tegas dia.
FPDIP, tambah Eva, mendukung pemberantasan korupsi melalui penegakan hukum. Tapi, FPDIP menolak pelaksanaan yang melanggar hukum positif. Apalagi bila kebijakan tersebut hanya semata pencitraan atau kepentingan kekuasaan.