REPUBLIKA.CO.ID, Tiga tahun setelah pasukan Salib menguasai seluruh kota suci ketiga bagi umat Islam, Yerusalem, sekelompok umat Islam pada 548 H hijrah dari Jama’il, Nablus, Palestina menuju ke timur, tepatnya kota Damaskus, Suriah. Rombongan itu dipimpin oleh Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, yang dikenal sebagai seorang yang sangat alim dan zahid.
Anggota rombongan yang hijrah menyelamatkan diri dan akidah itu masih satu keluarga. Di antara mereka ada seorang bocah laki-laki yang masih berumur 10 tahun. Anak laki-laki yang istimewa itu bernama Abdullah, anak ketua rombongan. Bocah kecil itu kelak menjadi ulama tersohor. Ia dikenal dengan nama Syekh al-Islam, Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah.
Ibnu Qudamah adalah seorang imam, ahli fikih, dan zuhud. Ia terlahir di Desa Jama’il, Palestina pada Sya’ban 541 H. Sehak kecil, ia telah mempelajari ilmu-ilmu keislaman dari sang ayah. Di tanah kelahirannya, ayahnya memang dikenal sebagai seorang ahli agama.
Di usianya yang masih belia, Ibnu Qudamah sudah mampu menghafal Alquran, dasar-dasar ilmu, dan beberapa matan Mazhab Hanbali seperti Mukhtasar al-Khirqi. Kemudian, ia juga menimba ilmu dari sejumlah ulama terkemuka di kota Damaskus. Ia pernah berguru pada Abul Makarim Abdul Wahid bin Abi Thahir al-Azdi ad-Dimasyqi, dan Abul Ma'ali Abdullah bin Abdirrahman ad-Dimasyqi.
Menginjak usia 20 tahun, tepatnya 561 H, Ibnu Qudamah ditemani sepupu-nya bernama Abdul al-Ghani merantau ke Baghdad. Ia berniat untuk menimba ilmu dan menambah pengetahuannya tentang ilmu-ilmu keislaman. Empat tahun lamanya dia bermukim di kota berjuluk ‘’seribu satu malam’’ itu.
Di Baghdad, Ibnu Qudamah berguru kepada banyak ulama terkemuka. Salah seorang gurunya yang sangat terkenal adalah Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Ulama yang terkenal hingga ke seantero dunia itu merupakan guru pertama Ibnu Qudamah di Baghdad.
Ibnu Qudamah memperdalam pengetahuan dan pemahanannya tentang kitab Mukhtasar al-Khirqi yang sudah dihafalnya semenjak di Damaskus. Sayangnya, ia tak bisa lama menimba ilmu dari Syekh al-Jilani yang saat itu sudah berusia 90 tahun. Baru 50 hari belajar, sang guru wafat.
Sepeninggal Syekh al-Jilani, Ibnu Qudamah pindah mengaji kepada Syekh Hanabilah (guru Mazhab Hanbali) dan ahli fikih asal Irak, Nasihul Islam Ibnul Manni. Kepada kedua orang itulah ia mengaji tentang Mazhab Imam Ahmad, masalah-masalah khilafiyah, ilmu usul fikih, dan Alquran qiraah Abu 'Amr.
Ibnu Qudamah juga berguru kepada Musnidul 'Iraq Hibatullah Abul Hasan ad-Daqqaq, Ibnul Batti, dan Ibnu ad-Dajaji mengenai Alquan qiraah Imam Nafi'. Ia juga pernah menimba ilmu kepada beberapa ulama wanita, seperti Khadijah an-Nahrawaniyah, Nafisah al-Bazzazah, dan Syuhdah al-Katibah.
Ketika berhaji pada 574 H, Ibnu Qudamah sempat menimba ilmu di Makkah. Sekembalinya dari Tanah Suci, ia memutuskan untuk menetap di Damaskus. Ia menetap di sana hingga akhir hayatnya. Ulama besar ini wafat di kediamannya pada tanggal 1 Syawal 620 H. Namun versi lain menyebutkan Ibnu Qudamah wafat pada tahun 629 H. Oleh pihak keluarganya, jenazah Ibnu Qudamah dibawa ke kaki gunung Qasiyun di Shalihiya, sebuah lereng di atas Masjid Jami' Al-Hanabilah untuk dimakamkan. (bersambung)