REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Makmun Nawawi
Ada seorang pemuda yang dirundung kemasygulan dan kegundahan. Pasalnya, setelah ia tekun melakukan tafakur (perenungan diri), diam-diam suatu kesadaran menyelinap ke relung kalbunya. Ia merasa bahwa sepanjang hidupnya sering sekali menggunakan sesuatu yang bukan haknya. Ia teringat pada kelakuannya sendiri yang kerap melirik jam tangan yang melingkar di lengan orang lain, karena ia ingin mengetahui waktu. Tanpa permisi lagi, ia telah mengambil suatu kemanfaatan tertentu dari barang yang dimiliki orang lain. Kemasygulan yang sama juga muncul manakala memorinya teringat pada kebiasaannya menggunakan penerangan listrik seseorang— untuk membaca suatu catatan, misalnya, tanpa ia meminta izin dulu.
Kegelisahan anak muda itu pun menjadi-jadi: ikhlaskah orang-orang yang barangnya pernah diambil manfaaatnya itu? Namun, di tengah kegundahannya itu, suatu kearifan baru menghiburnya. Ia harus berbaik sangka (husnuzhan) kepada para pemilik barang-barang itu. Karena, mereka bukan hanya ikhlas, tapi juga senang jika ada orang lain yang memanfaatkan barang miliknya, lantaran mereka sudah meniatkannya untuk dimanfaatkan oleh umum.
Selain berkisah tentang muraqabah —suatu kesadaran seseorang yang merasa bahwa Allah selalu mengawasi dan memantau dirinya-- narasi di atas juga memberikan pelajaran bahwa ternyata ibadah itu amat mudah dan bisa dilakukan sambil lalu. Bahkan, tak hanya banyak ragamnya, tapi juga nyaris tak perlu pengorbanan apa pun dari pelakunya dengan penuh keyakinan untuk ibadah sehingga tercatat sebagai amal kebajikan. (QS az-Zalzalah: 7-8).
Niat ibadah itu bisa dilakukan, misalnya, oleh seseorang yang atap rumahnya digunakan untuk berteduh para pejalan atau pengendara sepeda motor saat hujan atau panas yang terik. Bisa pula seorang pengendara motor atau mobil pribadi yang joknya masih kosong lalu memberikan tumpangan. Bukankah bisa dijadikan wahana untuk melakukan amal baik, yaitu dengan mempersilakan naik orang yang sedang berjejalan antre di halte, yang tujuannya kebetulan searah dengannya? Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mempunyai kelebihan tempat pada kendaraannya, hendaklah dia memberikannya kepada orang yang tidak punya tempat. Dan, barang siapa yang mempunyai kelebihan perbekalan hendaklah dia memberikannya kepada orang yang tidak mempunyai perbekalan.” (HR Muslim dan Abu Daud).
Kemudahan memang merupakan karakter agama Islam. “Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR Bukhari). Islam disebut mudah karena ia berbeda dengan agama-agama sebelumnya, di mana Allah telah melenyapkan beragam kesulitan yang dibebankan kepada umat sebelumnya.
Dari sisi akidah, pokoknya adalah tauhid, yaitu suatu keyakinan yang sejalan dengan fitrah insani, menenteramkan hati, dan memuaskan akal. Dalam hal ibadah, shalat hanya dilakukan lima kali sehari semalam, tak seperti umat sebelumnya yang sampai puluhan kali dalam sehari dan dalam jangka yang lama pula. Puasa juga mudah. Ia hanya dari fajar hingga matahari terbenam, juga hanya sebulan dalam setahun. Zakat dan haji juga demikian, di mana dua kewajiban ini hanya ditunaikan oleh yang mampu.