REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Polri diminta berhati-hati dalam memerintahkan operasi pemberantasan premanisme. Permintaan itu disampaikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengingat profesionalisme polisi dalam kerja-kerja pengamanan dan penegakan hukum masih buruk.
"Ditambah lagi sistem akuntabilitas yang juga buruk," kata Koordinator KontraS Haris Azhar di Jakarta, Sabtu (25/2). Ia menyebutkan, dalam sejarah kelam Indonesia, operasi pemberantasan preman pernah dilakukan pada kurun tahun 1980-an awal dan terdapat 721 orang jadi korban kebrutalan pemberantasan preman di 12 provinsi di Indonesia itu.
Hingga kini praktek kekerasan masih dilakukan Polisi. Sepanjang 2011 terdapat 112 peristiwa kekerasan dengan korban berjumlah 657 orang. Ini mununjukan bahwa sejak lama kekerasan digunakan dalam penegakan hukum dan hingga kini pun masih dilakukan, ujarnya.
Kekerasan, menurut Haris Azhar adalah salah satu wewenang yang boleh dilakukan oleh negara. Namun, tegasnya, hanya sebagai instrumen melindungi diri bukan untuk menyerang pihak lain, seperti preman.
Ia mengatakan, seharusnya momentum penangkapan John Kei dan peristiwa di RSPAD digunakan sebagai peluang untuk mengevaluasi kinerja polisi dan pemerintah yang selama justru menikmati keberadaan preman-preman.
"Kami juga merekomendasikan agar Presiden mendukung Komnas HAM untuk segera menuntaskan penyelidikan kasus pembunuhan misterius dimasa 1980-an untuk mengambil pembelajaran dalam penumpasan preman dimasa itu," demikian Haris Azhar.