REPUBLIKA.CO.ID, Bahkan sebelum naik ke tiang gantungan, Abdul Qadir Audah masih sempat berdialog dengan para hadirin yang menyaksikan peristiwa tersebut.
''Saya bersyukur karena Allah SWT memberikan kepada saya kesempatan untuk mati syahid. Darahku yang mengalir akan membanjiri revolusi dan akan menjadi malapetaka baginya,'' kata dia.
Dalam bukunya, Syekh Muhammad Sa'id Mursi menulis, Allah SWT mengabulkan ucapan Abdul Qadir Audah. Darah sang syuhada benar-benar menjadi malapetaka bagi orang-orang yang berbuat zalim kepada Abdul Qadir Audah di pengujung hidupnya.
Salah satunya menimpa Jamal Salim—Ketua Pengadilan tempat di mana Abdul Qadir Audah diadili atas tuduhan keterlibatannya dalam usaha pembunuhan Presiden Gamal Abdel Nasser. Tak lama setelah pelaksanaan hukuman mati tersebut, Jamal dikabarkan menderita penyakit saraf.
UUD Mesir dan Libya
Sebagai seorang yang pakar di dalam bidang hukum, Abdul Qadir Audah kerap dimintai pendapat dalam berbagai persoalan yang menyangkut masalah hukum. Pada masa pemerintahan Presiden Muhammad Najib, ia ditunjuk sebagai anggota tim perancang Undang-Undang Dasar (UUD) negara Mesir.
Dalam tim tersebut, dia mempunyai sikap yang tegas dalam membela kebebasan. Di samping itu, dia juga berusaha untuk membuat Undang-undang berdasarkan Islam. Karenanya ia menjadikan Alquran sebagai rujukan utama dalam menyusun Undang-Undang Dasar Mesir.
Kecakapan yang dimilikinya dalam bidang hukum ternyata menarik perhatian penguasa Libya kala itu, Raja Idris. Libya yang baru saja memperoleh kemerdekaan dari Inggris dan Prancis melalui Dewan Perwalian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 24 Desember 1951 itu belum memiliki Undang-Undang Dasar (UUD) negara.
Pada tahun 1953, pemerintah Libya memberikan mandat kepada Abdul Qadir Audah untuk membuat UUD negara Libya. Dia dianggap sebagai orang yang sangat menguasai hukum Islam dan perundang-undangan.