REPUBLIKA.CO.ID, Setelah merasa cukup berguru pada Imam Malik, Syafi'i melanjutkan perjalanan untuk memperluas pengetahuannya mengenai ilmu fikih hingga ke Irak.
Di sana ia berguru pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan. Dari kedua imam itu, Syafi’i mempelajari cara-cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara memberi fatwa, cara menjatuhkan hukuman, serta berbagai metode yang diterapkan oleh para mufti di Irak.
Selain sebagai ulama ahli fikih, Syafi’i juga dikenal sebagai ulama hadits, tafsir, bahasa dan kesusastraan Arab, ilmu falak, ilmu ushul, ilmu tarikh, dan ilmu qira'ah.
Kiprahnya di bidang pendidikan dimulai dengan mengajar di Madinah dan menjadi asisten Imam Malik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun. Ia mengajar di Madinah selama kurang lebih empat tahun sampai wafatnya Imam Malik.
Selepas Imam Malik wafat, Syafi’i pindah ke Yaman atas undangan wali negeri Yaman, Abdullah bin Hasan. Di Yaman ia diangkat sebagai penasihat khusus urusan hukum, disamping tetap melanjutkan karirnya sebagai guru.
Imam Syafi’i hidup di masa pemerintahan tiga orang khalifah yang berbeda dari Dinasti Abbasiyah, yakni Khalifah Harun Ar-Rasyid, Al-Amin, dan Al-Ma'mun. Saat ia menetap di Yaman, aktivitas orang-orang Syiah—sebagai kelompok oposisi yang akan menjatuhkan pemerintah resmi di Baghdad—sedang gencar-gencarnya.
Diriwayatkan, pemerintah resmi di Baghdad di bawah kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid memerintahkan penangkapan terhadap Imam Syafi’i atas tuduhan keterlibatan sang ulama dalam aktivitas Syiah.
Namun, tuduhan tersebut tidak terbukti. Setelah dibebaskan, Khalifah meminta Syafi’i untuk mengajar di Baghdad. Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun, ia diberi tempat mengajar di dalam Masjid Baghdad.