REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Profesi tukang gigi dianggap tidak bisa menjadi tempat pemeliharaan gigi alternatif bagi masyarakat. Untuk itu, Peraturan Menkes (Permenkes) Nomor 1871 Tahun 2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No 339/1989 dinilai tepat untuk melindungi kerugian kesehatan akibat banyaknya tukang gigi yang tak berizin.
“Pemeliharaan kesehatan gigi di tukang gigi bukanlah cara alternatif bagi masyarakat kelas menengah bawah. Standar tindakan penanganan pada gigi tetap harus memenuhi pelayanan kedokteran gigi,” ujar Ketua Umum PB Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Zaura Rini Anggraeni, Ahad (18/3).
Rini menampik jika keluarnya peraturan tadi untuk mengurangi persaingan antara dokter gigi dan tukang gigi. Keamanan, tegasnya, merupakan pertimbangan utama bagi penertiban tukang gigi. Pasalnya, banyak efek samping jika memaksakan diri berobat ke tukang gigi. Selain keamanan di rongga mulut, keselamatan pasien juga terabaikan dengan tidak adanya pengendalian infeksi atau penularan penyakit.
Jika alasan masyarakat memilih ke tukang gigi karena biayanya terjangkau, Rini memperlihatkan bahwa kesan itu karena banyak tukang gigi yang memakai alat operasional seperti kedokteran. Bahkan, praktik yang kini banyak ditawarkan tukang gigi, seperti pemasangan behel, jacket atau bracket gigi sebenarnya membutuhkan keterampilan dan izin praktik khusus.
“Masalah yang ditimbulkan setelah tindakan itu justru membuat biaya setelah tindakan lebih mahal,” ungkap Rini. Karena itu, ia menyarankan agar masyarakat lebih memilih memeriksakan gigi serta melakukan pelayanan gigi ke puskesmas terdekat. Sebagai alternatifnya juga tersedia di rumah sakit gigi dan mulut yang ada di 26 universitas di Indonesia.