REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG - Tarif Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) harus ditinjau ulang. "Penentuan tarif harus ditinjau ulang," ujar Achad Izzul Waro, Pengamat Transportasi dari Institut Studi Transportasi Indonesia ketika berbincang dengan Republika, Rabu (11/4). Sebelum pemerintah melakukan penentuan tarif, harus ada penelitian terlebih dahulu mengenai penghasilan dan masyarakat yang menggunakan jasa angkutan tersebut.
Izzul menjelaskan, angka penentuan tarif angkutan harus berdasarkan dua poin, yakni Willingness To pay (WTP) dan Ability To Pay (ATP). Willingness berarti masyarakat yang menggunakan tidak keberatan mengeluarkan uang untuk membayar jasa angkutan. Hal ini dilihat dari fasilitas yang diberikan jasa angkutan. Dengan menggunakan feeder busway masyarakat menjadi mudah menuju halte transjakarta. Bisa pula dengan menggunakan jasa APTB penumpang merasa nyaman dengan tidak kegerahan karena adanya fasilitas AC, dan tidak berdesakan seperti di atas kopaja atau metromini.
Sementara itu dari sisi Ability, yakni dimaksudkan pemerintah harus melihat data-data statistik. Data dari perjalanan yang dibutuhkan APTB untuk menempuh rutenya per hari dan per bulan, dananya harus diukur terlebih dahulu. Tidak hanya itu, dari sisi penumpang pun harus diukur. Penghasilan dari rata-rata penumpang yang akan menggunakan jasa angkutan harus diperhitungkan.
"Penetapan tarif harus dibawah angka WTP dan ATP," lanjut Izzul. Jika misi dan visi pemerintah ingin mengembangkan transportasi transjakarta sebagai angkutan masal, maka harus memperhatikan kenyamanan masyarakat saat menggunakannya. Untuk mengubah pola masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan masal tidak mudah.