REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Damanhuri Zuhri
‘’Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…’’ (QS At-Tahrim:6).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan setiap tahun 6.000 anak meringkuk di penjara, karena harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan, Badan Narkotika Nasional (BNN) memiliki data bahwa 1,3 juta pecandu narkotika dari 3,3 juta pecandu di seluruh Indonesia adalah pelajar dan mahasiswa.
Fakta tersebut tentu saja sangat memprihatinkan. Anak-anak yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas di masa depan justru terseret menjadi korban perubahan zaman. Bila ditelisik lebih dalam, keluarga menjadi salah satu faktor yang membuat generasi penerus terjebak dan terjerembab dalam dunia hitam.
’Tingginya angka perceraian di Indonesia berpotensi menjadi sumber permasalahan sosial. Korban yang paling merasakan dampaknya adalah anak-anak yang seharusnya memperoleh pengayoman,’’ ungkap Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Prof Nasaruddin Umar.
Guru Besar Psikologi Islam Universitas Indonesia dan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Achmad Mubarok, mengungkapkan, ada tiga lingkungan yang membentuk karakter manusia, yakni: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Menurut dia, meski ketiganya saling mempengaruhi, pendidikan keluarga paling dominan pengaruhnya.
‘’Jika suatu rumah tangga berhasil membangun keluarga sakinah, maka peran sekolah dan masyarakat menjadi pelengkap,’’ ujar Mubarok. Jika gagal, maka sekolah akan menjadi kurang efektif dan lingkungan sosiallah yang akan mendominasi.
***
Hal senada diungkapkan psikiater terkemuka, Prof Dadang Hawari. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu, menegaskan, untuk membentengi anak-anak dan remaja dari ganasnya gempuran kejahatan, maka rumah atau keluarga harus berfungsi sebagai surga bagi mereka.
Dengan konsep rumahku surgaku, papar Dadang, setiap anggota rumah tangga akan merasa betah berada di rumah. ‘’Sekarang ini yang terpenting bagaimana rumah kita benar-benar seperti yang digambarkan Rasulullah SAW, yakni Baity jannaty sehingga rumah kita benar-benar terasa seperti surga. Seluruh anggota keluarga; suami, istri dan anak-anak merasa nyaman berada di dalam rumah,’’ tutur Dadang.
Menurut dia, suasana keharmonisan dalam keluarga akan sangat efektif untuk mampu menyelamatkan anak-anak dari hal-hal yang negatif, seperti pengaruh narkoba, minuman keras, pornografi, kekerasan, serta kejahatan lainnya yang merugikan.
Untuk menyelamatkan anak-anak, Dadang juga mengingatkan agar para orangtua mampu dan mengetahui perkembangan teknologi informasi, seperti internet. ‘’Orangtua harus tahu bagaimana perkembangan teknologi informasi. Jangan asal anak pergi ke warung internet, orangtua merasa nyaman.’’
Secara khusus, Dadang Hawari menyayangkan sikap pemerintah pemerintah yang hingga kini belum membuat Undang-Undang tentang Minuman Keras. Padahal, kata dia, dampak yang ditimbulkan minuman keras sangat berbahaya. ‘’Sudah berapa banyak generasi muda kita yang mati gara-gara miras?’’ cetusnya.
***
Menteri Agama, Suryadharma Ali, mengungkapkan, kehidupan masyarakat modern selain menawarkan berbagai kemudahan dalam pemenuhan hajat hidup manusia seperti gaya hidup yang instant dan hedonis, juga memberikan ancaman dan tantangan yang makin berat dan kompleks.
‘’Ancaman tersebut sangat serius karena akan berhadapan langsung dengan proses pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama. Ancaman tersebut bersumber dari penggunaan teknologi informasi yang berisi pornografi, kriminalitas, penyalahgunaan narkotika, pergaulan bebas, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan dan anak serta yang lainnya,’’ papar Menag.
Bersamaan dengan perubahan nilai dan norma sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat modern, Lanjut Menag, lembaga perkawinan juga menghadapi tantangan yang kian berat dan kompleks, seperti adanya upaya desakralisasi nilai-nilai perkawinan.
Perkawinan yang selama ini dimaknai dengan nilai-nilai luhur dan sakral, papar dia, sudah dianggap tidak lebih sebagai hubungan orang per orang secara perdata yang tidak ada kaitannya dengan norma-norma agama dan kemanusiaan. Akibatnya, terjadi maraknya perceraian dan gonta-ganti pasangan dianggap lumrah, seolah tidak ada beban bahwa perilaku demikian itu mempunyai dampak buruk bagi masa depan anak-anak.
Dalam membangun keluarga sakinah, kata Menag, orangtua wajib menyadari pendidikan agama mutlak diperlukan. ‘’Agamalah yang mengajari manusia akan nilai-nilai moral, kebenaran hakiki, spiritualitas dan berbagai aspek kehidupan yang menyelamatkan manusia dari kekeringan jiwa. Agama pula yang memberi makna serta tujuan hidup.’’
Menurut Menag, membentuk keluarga yang sakinah harus diawali dengan proses perkawinan yang benar sesuai dengan syariat Islam dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
***
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amin, menilai keluarga sakinah memiliki posisi yang sangat strategis. Sebab keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. ‘’Artinya, miniatur dari masyarakat itu adalah keluarga. Karena itu, kalau keluarganya baik, masyarakatnya baik, bangsa ini akan baik. Kalau bangsa ini rusak, berarti keluarganya yang rusak,’’ tutur Kiai Ma'ruf.
Menurut dia, keluarga yang baik itu adalah keluarga sakinah, keluarga yang tenang. Keluarga sakinah itu, keluarga yang di dalamnya ada mawaddah dan rahmah, ada cinta kasih dan kasih sayang.
Ketua Umum PP Aisyiyah, Hj Siti Noordjanah Djohantini, mengungkapkan, perlunya pendidikan agama yang benar dengan cara dan komunikasi yang baik untuk membangun keluarga sakinah. Menurut dia, selama ini pendidikan agama lebih sering ditampilkan dengan doktrin-doktrin dan ancaman yang sangat menakutkan seperti soal neraka dan sebagainya.
Akibatnya, tidak sedikit anak-anak dan remaja yang kurang senang terhadap pendidikan agama. ‘’Mestinya, pendidikan agama harus disampaikan kepada anak-anak dengan cara dan komunikasi yang baik. Pendidikan agama itu harus mencerahkan, membuat anak-anak senang mempelajarinya.’’