Oleh: Triono Subagyo/Antara
REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU - Provinsi Bengkulu merupakan daerah rawan gempa dan sejak tahun 2000 tercatat ada kejadian cukup besar yakni pada 4 Juni 2000 dan 12 September 2007. Pada gempa tahun 2000 berkekuatan 7,3 skala Richter dan gempa tahun 2007 berkekuatan 7,9 SR telah menelan korban baik jiwa, luka-luka serta harta benda milik warga.
Gempa-gempa berkekuatan kecil pun sering terjadi di provinsi tersebut dan dianggap biasa oleh warga setempat. Begitu pula ketika gempa yang mengguncang Aceh 11 April lalu berkekuatan 8,5 SR yang juga terasa di provinsi tersebut, sebagian besar warga menganggap biasa, kecuali mereka yang tinggal di tepi pantai khawatir tsunami menyusul suara sirine penanda siaga bencana.
Warga Bengkulu yang umumnya menyatakan sudah "familiar" dan biasa dengan gempa, terkadang "menertawakan" warga yang baru pindah atau berada di provinsi tersebut ketika khawatir akan gempa.
Manajer Area Bengkulu PT Telkom Sonny Hidayat yang juga koordinator penanggulangan bencana perusahaan tersebut pun mengakui hal serupa. "Ketika ada gempa, saya minta karyawan segera ke luar kantor dan menuju lokasi evakuasi. Tetapi sebagian bilang di sini sudah biasa kena gempa pak, sehingga tenang saja," terang dia, yang dinas di provinsi tersebut sekitar satu tahun lebih.
Ia pun akhirnya menegaskan bahwa ketika gempa tidak ada hal biasa, semua harus ke luar dan tidak boleh menganggap sesuatu bencana itu biasa. "Setiap ada tanda-tanda gempa, harus segera evakuasi diri. Pentingkan keselamatan jangan menganggap gempa hal biasa," kata dia, mengungkapkan kepada bawahannya.
Wakil Presiden Boediono dalam pertemuan dengan penjabat Gubernur Aceh Tarmizi A Karim, Jumat (13/4) meminta agar masyarakat Indonesia harus menyiapkan diri sedini mungkin menghadapi bencana, karena negeri ini menjadi langganan bencana.
Khusus masyarakat yang tinggal di Sumatera dan kawasan megathrust, agar terus waspada dengan kemungkinan terjadinya bencana. "Bencana tentu tidak bisa dicegah, tapi hanya bisa dihindari," ujarnya.
Sementara itu, sebanyak 241 desa di pesisir pantai barat Sumatera di Provinsi Bengkulu ditetapkan sebagai desa rawan bencana gempa dan tsunami.
"Ada 241 desa pesisir di tujuh kabupaten dan kota yang merupakan titik rawan bencana, khususnya gempa yang diikuti tsunami," kata Kepala Bidang Kesiapsiagaan BPBD Provinsi Bengkulu Bambang Hermanto.
Ia mengatakan, desa di wilayah pesisir itu menjadi sasaran program kesiapsiagaan bencana, mulai dari peningkatan sosialisasi dan simulasi hingga fasilitas penunjang. Hingga saat ini telah terbentuk 43 desa siaga bencana yang sebagian besar berada di wilayah pesisir.
"Karena Bengkulu berada di pertemuan lempeng aktif Indoaustralia dan Eurasia yang menimbulkan gempa bumi dan tsunami," katanya. Termasuk pembangunan 50 gudang logistik di 10 kabupaten dan kota, terutama tujuh kabupaten dan kota di wilayah pesisir.
"Ada tujuh kabupaten di pesisir dan pembangunan gudang logistik diprioritaskan di wilayah pesisir ini," katanya. Tujuh kabupaten dan kota di wilayah pesisir, yakni Kota Bengkulu, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara, Seluma, Bengkulu Selatan dan Kaur.
Menurut dia, selain meningkatkan respon dan kesadaran masyarakat terhadap bencana, pemerintah juga perlu meningkatkan ketersediaan alat peringatan dini tsunami. "Saat ini baru ada dua sirene peringatan dini tsunami bantuan BMKG pusat yang ditempatkan di Kota Bengkulu, sedangkan enam kabupaten lainnya belum tersedia," katanya.
Dua alat itu berbunyi secara otomatis dari BMKG pusat saat gempa besar berkekuatan 8,5 pada Skala Richter mengguncang Aceh pada 11 April 2012. Sedangkan masyarakat pesisir lainnya mendapatkan informasi bencana dari berbagai media dan informasi melalui anggota satuan tugas mitigasi bencana.