REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--Pemutusan hubungan kerja sepihak manajemen Kebun Binatang Surabaya (KBS) pada 30 karyawan membuat nasib karyawan terkatung-katung. Oleh sebab itu, sebanyak 30 karyawan yang di-PHK tersebut melakukan aksi mengamen di perempatan jalan Tantular.
Mereka menggelar aksi menggalang dana dengan mengumpulkan koin dari pengguna jalan di pemberhentian lampu merah depan KBS. Aksi yang mereka lakukan adalah untuk mengumpulkan uang sebagai penyambung perekonomian keluarga. Sebab sejak kisruh manajemen dengan karyawan, mereka tidak lagi digaji selama 21 bulan.
Dedy Syamsudi, perwakilan karyawan mengatakan, pihaknya hanya ingin meneruskan bekerja di KBS. Pria yang dulu berprofesi sebagai keryawan kebersihan di KBS tersebut mengungkapkan, sudah 21 bulan dia tidak digaji. Padahal, dia harus meemberi nafkah anak dan istrinya. Selama ini, 30 karyawan yang di-PHK sepihak menggantungkan kehidupan perekonomian keluarga mereka dengan kerja serabutan pada malam hari. Siang hari mereka masih menggelar aksi di depan KBS untuk memperjuangkan nasib mereka atas kebijakan sepihak manajemen.
"Aksi mengamen ini mulai hari ini, dan akan kita lakukan terus hingga tuntutan kita dipenuhi," kata dia, Selasa (24/4).
Bahkan, mereka mengancam akan mengajak anak dan istri untuk memperjuangkan nasib mereka untuk dipekerjakan kembali di KBS. Sebab, sebelum adanya pergantian manajemen, mereka sudah diangkat menjadi karyawan tetap oleh manajemen lama dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan. Namun manajemen baru tidak mengakui SK tersebut dan meminta mereka membuat surat lamaran lagi sebagai karyawan kontrak.
Bahkan Dinas Tenaga Kerja menganjurkan pihak KBS harus mempekerjakan mereka dan membayar gaji selama bulan yang telah dilewati. Namun, pihak KBS menyatakan banding ke tingkat Mahkamah Agung (MA). Hingga sekarang, belum keluar putusan dari MA. Itulah alasan 30 karyawan ingin menjalankan anjuran Dinas Tenaga Kerja.
Hingga berita ini ditulis, pihak KBS belum bisa dikonfirmasi. Humas KBS, Athan Warsito yang berhasil dihubungi Republika tidak bersedia berkomentar terkait kasus itu