REPUBLIKA.CO.ID, Di buku itu, Ali menemukan kejutan lain. “Ada kata ‘jemaah’ (ejaan lama untuk kata ‘jamaah’), sama dengan nama gerejaku; Jemaat. Lagi-lagi aku didekatkan pada Islam melalui hal-hal yang kukenal.” Ia juga menemukan kata “derajat” dalam buku itu, menjelaskan pahala orang yang shalat berjamaah.
Ali muda yang tidak bisa mendiamkan hal itu pun bertanya pada kakak iparnya tentang arti dan makna ‘derajat’. Ia juga menanyakan imbalan bagi jemaat gereja jika mereka melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Tuhan. “Ia hanya menjawab bahwa belum waktunya aku menanyakan perkara itu.”
Tidak puas, sekembalinya ke barak, ia bertanya pada salah seorang tentara Muslim tentang arti derajat, juga tentang pengertian shalat dan berjemaah. Darinya, Ali mengerti bahwa shalat adalah sembahyang, derajat berarti nilai, dan jemaah adalah bersama-sama.
Ketika tentara itu sampai pada penjelasan tentang pahala shalat berjamaah, Ali segera dihinggapi perasaan kagum. “Semakin baik amalan dilakukan, semakin tinggi nilai imbalannya. Itu ajaran yang hebat,” katanya.
Ali kembali mendatangi kakak iparnya dengan sebuah pertanyaan yang sama; imbalan yang akan diperolehnya jika ia menjalankan semua yang diperintahkan Tuhan. Tak ada jawaban yang memuaskan Ali. Dan diskusi yang berlangsung hampir semalaman itu berakhir dengan pertengkaran keesokan paginya.
Diskusi tersebut membawa Ali pada kesimpulan yang tak diharapkannya. Ia segera teringat keterlibatannya sebagai anggota militer non-formal kala itu. “Aku tidak digaji, tidak memiliki jaminan hidup, dan jika harus mati, aku akan mati secara konyol. Tidak seperti para tentara formal yang digaji oleh pemimpin tertinggi mereka.”
“Harus seperti itukah posisiku dalam beragama jika Tuhan tidak memberikan imbalan apapun atas amalan umatnya? Jadi, apakah agama hanya untuk orang-orang tertentu?” Ali berontak. Ia semakin geram ketika tahu mereka yang bersekolah mendapatkan nilai dari guru atas hasil kerja dan prestasi mereka di sekolah. “Bagaimana mungkin Tuhan tidak memberiku imbalan sedikitpun atas amal baikku? Apa manfaat sembahyangku selama ini?”
***
Ketika otaknya masih menyimpan berbagai pertanyaan yang belum terjawab, suatu hari Ali menemukan buku kecil berjudul “UUD 1945” di barak. Ia membacanya dan menemukan pasal yang menjelaskan tentang kebebasan beragama. Ia juga menemukan daftar lima agama yang diakui di Indonesia dalam buku Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), di mana Islam berada di urutan pertama.
“Sebelum membaca itu, yang kutahu dari gereja adalah bahwa agama hanya satu, yakni agama kami. Maka pada detik setelah aku membaca itu, aku mulai meragukan agamaku.”
Hingga kemudian, Ali menemukan sebuah Alquran Terjemahan terbitan Departemen Agama milik seorang tentara. Ia membukanya secara acak dan menemukan terjemahan yang berbunyi “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanya Islam (QS. Ali ‘Imron: 19).” Ali pun tersentak.
Ketika di rumah, ia bermaksud mencari ayat serupa dalam Al-Kitab. Dua bulan membacanya, Ali tak menemukan kalimat dengan redaksi yang serupa dengan kalimat dalam Alquran yang dibacanya di barak. “Tak ada ayat yang mengatakan bahw aKristen adalah satu-satunya agama yang diterima di sisi Tuhan,” katanya.
Pada kesempatan lainnya, di surah yang sama pada ayat 85, Ali menemukan kalimat yang berbunyi “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” Ali kembali menelusuri kalimat-kalimat Al-Kitab untuk menemukan kalimat serupa. Pencariannya kembali nihil.
Sebaliknya, ia justru menemukan ayat-ayat yang tidak sesuai dan bertolak belakang. “Seperti ayat yang menjelaskan tentang Yesus,” ujarnya. Sebagian ayat, kata Ali, menyebutnya sebagai anak Tuhan, sementara ayat yang lain menyebutnya anak Abraham.
Tak hanya kitab suci, Ali membaca buku Biologi untuk SMP. Membaca bab reproduksi, Ali dengan mudah menyimpulkan bahwa laki-laki tidak melahirkan. Doktrin bahwa Yesus adalah anak Tuhan pun mulai mengganggu logikanya. “Yesus tidak seharusnya dinasabkan pada Tuhan karena Tuhan tidak punya istri,” ia mendebat dalam hati.
“Atau, Tuhan itu perempuan? Jika ya, maka Ia adalah Maryam. Namun bukankah Maryam sudah mati? Lalu siapa yang mengatur alam semesta sejak ia mati? Dan jika memang manusia seperti Maryam layak dijadikan Tuhan, mengapa manusia tidak menuhankan Adam, manusia pertama di bumi?”
Semua pertanyaan krusial itu mendorong Ali untuk mendatangi seorang pastor berkebangsaan Filipina yang ditugaskan di Timor Timur. Olehnya, Ali dinasihati agar datang ke gereja jika ingin bertemu Tuhan. “Aku tidak membantah, namun juga tidak membenarkannya. Jika Tuhan yang ia maksud adalah patung Yesus dan Bunda Maria, itu bukan yang kucari,” katanya.
Pertanyaan dan pergulatan batin yang melelahkan itu membawa Ali pada keraguan yang semakin besar pada agamanya. Hingga pada suatu hari pada 1995, ia merasa harus mengakhirinya dengan sebuah keputusan memilih Islam. Kepada tentara yang menjelaskannya pengertian ‘jemaah’ dan ‘derajat,’ Ali menyampaikan keinginannya.
Tentu, berpindah agama bukanlah perkara ringan di Timor Timur yang dirundung konflik kala itu. Dan atas pertimbangan keamanan, tentara itu menjelaskan risiko yang mungkin dihadapi Ali jika ia meninggalkan agamanya dan menjadi Muslim. “Katanya, aku bisa diusir, dibuat cacat, bahkan dibunuh akibat keputusan itu. Ia memintaku memikirkan kembali keputusanku untuk memeluk Islam.”
Tak ingin membiarkan dirinya gamang berkepanjangan, Ali kembali mendatangi tentara yang sama untuk diislamkan. “Tahun 1996, tapi aku lupa tanggal dan bulannya,” ujarnya. Disaksikan oleh tiga orang tentara, Luis Monteiro bersyahadat. Di barak militer itu, ia resmi menjadi seorang Muslim.