REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu ulama Betawi terkemuka di abad ke-19 adalah Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad Al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman Al-Batawi.
Atau lebih dikenal dengan nama Guru Marzuki dari Klender yang dilahirkan tahun 1876 dan meninggal pada tahun 1934.
Ayah Guru Marzuki adalah Syekh Ahmad Al-Mirshad, keturunan keempat Kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang hijrah ke Batavia.
Ia adalah ulama Betawi generasi kelima setelah Syekh Ahmad Junaidi Al-Batawi (pernah menjadi imam di Masjidil Haram), Guru Mujtaba, Guru Manshur dan Habib Utsman bin Yahya.
Bersamaan dengan Guru Marzuki di masa yang sama, terkenal juga lima ulama lainnya yaitu KH Moh Mansur (Guru Mansur) dari Jembatan Lima, KH Abdul Majid (Guru Majid) dari Pekojan, KH Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gondangdia, KH Mahmud Romli (Guru Mahmud) dari Menteng Dalam dan KH Abdul Mughni (Guru Mugni) dari Kuningan.
Seperti ulama terkemuka masa itu, Guru Marzuki pun sempat hijrah ke Makkah di usia 16 tahun. Selain melaksanakan ibadah haji, ia juga menimba ilmu agama selama tujuh tahun di sana.
Selama masa belajarnya di Makkah ia menerima pembelajaran tentang Islam melalui pengajian halaqah di masjid-masjid.
Namun saat kembali ke Tanah Air, Guru Marzuki membuat terobosan dengan melakukan metode belajar yang berbeda dengan pengalamannya di Tanah Suci.
Dan berbeda pula dibandingkan metode belajar yang dikembangkan para ulama Betawi kala itu yang lebih memilih halaqah atau majelis taklim sesuai pengalaman mereka. Guru Marzuki mendirikan sebuah pondok pesantren yang umum dilakukan para ulama Jawa.
Sempat mengajar di Masjid Rawabangke selama lima tahun sesuai permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki hijrah dan menetap di Cipinang Muara.
Di sinilah ia mendirikan pesantren setingkat Aliyah. Sekitar 50 orang santri mondok dan belajar di sini. Seluruh santri datang dari wilayah Jakarta dan Bekasi, terutama Jakarta bagian utara dan timur.